Sunday, September 7, 2008

Kata Mereka (2)

Inilah komentar kloter ke-2 dari mereka yang sudah membaca Perahu Kertas. Bagi kamu yang sudah baca, silakan tinggalkan kesan dan pesan di posting ini. Nantinya akan saya muat dalam posting terpisah. Semua komentar yang terekam di blog ini akan saya cantumkan di Perahu Kertas versi cetak kelak. Thank you so much!

From Tary:
Perahu Kertas yang membuat "kertas" menjadi istimewa karena alurnya yang menyentuh hati dan menyadarkan bahwa hidup adalah tidak hanya satu warna saja. By the way, I love the idea that Dee used name Keenan in this novel. Reminds me of her lovely son.

From Archrein Kee:

This book makes me don’t give up. Aku paling suka quote: "berputar menjadi sesuatu yang bukan kita demi menjadi diri kita lagi.” That inspires me.
Anyway, ada rencana bikin filmnya nggak? At least, Perahu Kertas awesome... keren. Yang udah beli atau nebeng baca nggal bakal nyesel.

From Stella:

I just wanna say that I love your Perahu Kertas. Had a hard time not to fall in love with Keenan. Congrats!

From Dyah:
Suka banget dengan karakter Kugy. Cantik, cuek tapi untuk urusan masa depan, dia rencanakan dengan baik. Bumbu ceritanya, seperti kelakuan Keshia, bikin senyum-senyum sendiri. Lainnya jangan tanya, berkaca-kaca deh mata :) Novel yang mengharukan dan memberikan semangat untuk meraih impian.

From May’s:

Perahu Kertas memiliki filosofi tentang sebuah pilihan dalam hidup, alurnya membawa kita mengalir, dan kemudian selesai membaca kita bisa dapat 'sesuatu'. That's why it becomes so interesting. GOOD JOB DEE! Two thumbs up for you!

From Ricas Dwi Cahyo:

Nangis, ketawa sendiri, senyum sendiri saya alami saat baca novel ini. Amazing! Karakter tokoh yang kuat, penempatan titik emosional yang sangat baik. Alur cerita yg menyayat adalah bumbu hidangan istimewa perahu kertas. Tak banyak penulis yang bisa menyatupadukan cinta keluarga, sahabat, dan kekasih, menjadi sebuah hidangan ringan sekaligus padat, edukatif dan inspiratif. Two thumbs up!

Sunday, August 31, 2008

Kata Mereka (1)

Inilah komentar mereka yang sudah membaca Perahu Kertas. Bagi kamu yang sudah baca, silakan tinggalkan kesan dan pesan di posting ini. Nantinya akan saya muat dalam posting terpisah. Semua komentar yang terekam di blog ini akan saya cantumkan di Perahu Kertas versi cetak kelak. Thank you so much!

From Clariss:
Bagus banget, Mbak...
Rasanya setiap Kugy sedih aku jadi ikut berkaca-kaca. Ga cuma cerita cinta aja tapi ada makna supaya setiap orang yakin sama impiannya.

From Jaff:

Overall, enjoyed the story :) Keren, Dee… Keren…

From Emaknya Farah:

Lebih 'ringan' dari Supernova dan lebih 'berat' dibanding chicklit or teenlit. One thing yang aku realized that, ternyata Dee juga 'penuh pengetahuan' yaa (hihihi…). Top dah (lagi ngebayangin wujud Keenan dan kugy kalo dijadiin pileem!).

From Dian:

Menarik juga ceritanya. Ada Pasukan Alit, Kugy yang pinter bikin cerita tapi gak bisa gambar, Keenan yang pinter melukis tapi gak bisa bikin cerita, trus ada Wanda yang naksir Keenan tapi Keenan gak ada minat. Wanda yang cantik sempurna, anak orang kaya, yang membuat Kugy minder karena ada hati sama Keenan. Keren abies dech!

Perahu Kertas Berlayar ke Jogjakarta

30-31 Agustus 2008. Di bulan keempatnya sejak pertama kali diluncurkan pada bulan April lalu, Perahu Kertas akhirnya berkesempatan mengunjungi kota Jogjakarta, yang merupakan salah satu jantung perbukuan di Indonesia. Sebelumnya, Perahu Kertas sudah mampir ke Bandung dan, tentu saja, Jakarta.

Acara akan digelar di Ambarukmo Plaza, di atrium departemen store Centro. Begitu mendarat pukul 4.30 sore di bandara, saya langsung pergi ke I-Radio untuk wawancara sekaligus promo. Interview di I-Radio berlangsung kurang lebih 1 jam, dan sesudahnya kami langsung pergi ke Ambarukmo Plaza.

Acara baru digelar pukul 7.30 malam. Itu memungkinkan saya untuk bertemu teman-teman saya di Jogja terlebih dahulu. Kepergian saya kali ini ke Jogja ditemani oleh Reza. Sahabat-sahabat yang berhasil kami kontak untuk kopi darat hari ini antara lain adalah Chindy Tan (yang artikel dan komentarnya sering muncul di Dee-Idea), dan Sandi Khalifadani, seorang guru yoga, straight-edger, dan penggemar meditasi. Chindy juga ditemani sahabatnya, Anton, seorang bhikku Maitreya, yang setelah mengobrol lebih lama, baru saya ketahui bahwa Anton inilah yang berjasa mempertemukan saya dengan Chindy di Jogja saat masih promosi Filosofi Kopi, yang akhirnya menjadikan saya seorang vegetarian. Amazing train of events. Ha!

Acara berlangsung cukup seru. Penonton ramai dan antusias. XL menggelar game yakni membaca potongan Perahu Kertas. Sengaja saya pilih potongan yang ada dialog Bahasa Sunda-nya. Lumayan mengocok perut mendengar Bahasa Sunda dalam logat Jawa.

Sebagai penutup, saya menyanyi “Malaikat Juga Tahu”. Ini namanya promo tumpang sari. Heheh. Selain itu, mungkin memang karena banci tampil dari sononya. And that includes Reza. Belum lagi ada piano grand. Tangan langsung gatal, tenggorokan juga.

Kejutan selanjutnya adalah kemunculan Fahd Djibran, penulis muda yang saya kagumi. Saya dan Reza sudah berhari-hari hunting bukunya yang terbaru, “Writing Is Amazing”, tapi stok di Jakarta habis. Akhirnya kami berhasil mendapatkan buku Fahd di Gramedia Ambarukmo Plaza. Sebelumnya, in our desperate attempt, Reza mengirim e-mail ke Fahd, berharap moga-moga dia membuka e-mailnya hari ini, karena kami tidak lagi cara menghubunginya selain via e-mail. Ternyata di belahan Jogja bagian entah, Fahd pun tergerak meminjam komputer temannya untuk mengecek e-mail. Kebetulan, dia sedang berada di area yang sama. Dan bertemulah kami semua.

Pertemuan ini sangat ajaib dan langka. Kami semua saling mengenal lewat blog, tapi tidak semua dari kami pernah saling bertatap muka. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan temu malam Minggu ini di coffee shop tempat saya menginap, di Grand Mercure yang antik dan cozy. Bertemankan lima gelas jus segar, kami mengobrol kurang lebih satu jam. It was certainly a nice rendezvous.

Banyak alasan untuk bahagia hari ini. Download Perahu Kertas ternyata cukup memuaskan, sejauh ini katanya sudah ada lebih dari 60 ribu pelanggan. Tadi, penyiar I-Radio memberi tahu kalau request “Malaikat Juga Tahu” ternyata cukup kencang. And of course, the trip itself was nice too. It’s always lovely to be accompanied with your loved one, and to hang out with your dear friends.

Saya sungguh menanti pelayaran Perahu Kertas berikutnya.

... Sandi, Chindy, saya, Reza, Fahd.



... The rendezvous of five crazy minds.

Perahu Kertas Meluncur Dari Bandung

15 Mei 2008. Inilah acara off-air Perahu Kertas yang pertama kali. XL memilih kota Bandung yang merupakan kota lahirnya Perahu Kertas. Acara ini diadakan di Excelso Café, Plaza Dago, yang memang tak jauh dari Jalan Tubagus Ismail, tempat Perahu Kertas digodok dan diramu dalam sepetak kamar kos.

Tamu acara ini terdiri dari wartawan dan teman-teman dari berbagai komunitas buku di Bandung. XL memeragakan juga bagaimana cara men-download Perahu Kertas dari hp. Dan saya tentunya kebagian menjelaskan isi, misi, visi, dan si-si lainnya dari cerita ini.

The event is well coordinated, thanks to the EO and everyone involved. Tapi yang paling menggugah bagi saya adalah: to see how this “baby” starts taking form. Melihat baris-baris dari teks Perahu Kertas muncul di layar besar di panggung, yang kelak akan tercetak di lembar-lembar kertas... melihat banner yang memuat iklan Perahu Kertas... I’m touched. This baby has come to alive... at last.

... Saat interview radio di OB Van sebelum acara dimulai.


... The talkshow up on stage.


... The audience.


... Sign, sign, sign.


... Our "baby" on the banner.

Friday, May 2, 2008

Membaca Perahu Kertas

Teman-teman semua, maafkan saya agak terlambat menyisipkan informasi penting ini, yaitu bagaimana caranya mendapatkan "Perahu Kertas", bayi yang kita tunggu bersama, yang perjalanannya telah ditemani oleh kalian semua.

Tak lupa saya mengundang teman-teman yang sudah membacanya untuk menuliskan review, komentar, atau apa pun tentang "Perahu Kertas"

Selamat Membaca! Selamat Berlayar!

~ D ~


Kisah ”Perahu Kertas” dibagi dalam 12 (dua belas) Bab yang dapat di-download oleh pelanggan XL.

Caranya:

- Ketik REG(spasi)DEE, kirim ke 3450.
- Untuk berhenti berlangganan, ketik UNREG(spasi)DEE, kirim ke 3450.

Untuk Pelanggan yang menggunakan ponsel 3G:
- Kunjungi WAP XL 3G: wap.lifeinhand.com
- Pilih Layanan Digital Novel
- Pilih Dewi Lestari
- Pilih Perahu Kertas
- Silakan pilih cara beli: “Berlangganan” atau “Beli Per Bab”

Biayanya:
- Pembelian secara berlangganan Rp 2000/WAP-push (pengiriman konten) setiap minggunya.
- Pembelian eceran atau per bab Rp 5000/WAP-push (pengiriman konten).


* Pelanggan tidak dikenakan biaya sms registrasi dan berhenti berlangganan.
* Tarif tersebut sudah termasuk PPN.

Tuesday, March 25, 2008

The First Review

I realize this is a rather unique situation. Here I am, writing a journal of my creative process, of a book that cannot be immediately read and enjoyed by all of you who have visited this blog, and knew about its process inside out. You do not know the book yet, and yet you know the insight story of its birth.

Writing a synopsis is the best that I can offer for now. I hope you’re all willing to accept this small gift.

There aren’t many people who directly witness this ‘creative birth’ process as well. Only those who live in the same house with me, the three girls that were my neighbors in kos-kosan, and a few friends that somehow affected by this writing project (karena antara lain saya jadi menghilang, buronan segala pekerjaan yang tertunda, dsb).

I can start my thank list now, but I’m afraid it will be too long and somewhat immature. Daftar itu sepertinya masih akan berkembang. Nevertheless, I thank Kib Roby and his wife Diah, also my dosen back in Unpar, Pak Nyoman, for the Bali/Balinese information. I thank Mulki for his precious info and photos on Ranca Buaya, which I had to pick up very late at night. I thank my lil’ sis, Dede, yang sudah berbaik hati ngeprint draft. I thank Ogin, Teh Enny, Berna, who had taken care of me and made all this process possible. And the list goes on and on… tidak akan saya lengkapi sekarang… but, I am forever in debt and grateful for the support from my producer/dearest friend/soul mirror, Reza, who had shown his deep passion and enthusiasm towards this project from day one (he was the one who gave me the Steve Manning e-book, btw). His geeky and systematic nature had helped a lot to map out my frantic scheduling. His presence has been such a profound healing and delightful refreshment throughout this magical and occasional hellish journey.

And since he’s the only one who has read the draft from page one till finish (I haven’t even finished it! Shame on me!), and probably the only “Perahu Kertas” reader I have from today till six months later, his feedback is the only review and endorsement that I have for now (yang kebetulan sudah tercicip nuansa pengamat sastranya, hehe). Tak lengkap rasanya jika menuliskan sinopsis tanpa ada komentar umpan balik. Sinopsis bagi saya hanyalah cerita terkondens, tapi impresi yang ditangkap pembacalah yang menjadikannya hidup. So, demi melengkapkan siklus tersebut, saya akan tampilkan komentar Reza berikut ini (taken from his comment on my previous posting):

“Atas nama objektivitas, saya harus mengakui betapa sulitnya menjadi produser informal, sahabat dekat penulis sekaligus pembaca pertama Perahu Kertas dan sekaligus berusaha memberikan sudut pandang yang jernih.

Tertawa terpingkal-pingkal, haru, bercermin ke dalam, sedih, gemas, momen ‘bohlam menyala’ serta ketulusan yang tidak dibuat-buat. Barangkali hanya spektrum rasa diatas berbalut kekaguman mendalam yang bisa saya ungkapkan tentang tulisan ini.

Sebuah kisah cinta yang sepintas terlihat sederhana dan populer dihadirkan dengan detil-detil dan alur cerita yang khas Dee: mengejutkan, mengharukan, dan menggiring saya untuk tak bisa berhenti membaca. Dan di tengah-tengah momen emosional antara berbagai karakter yang terasa sekali pematangannya, penulis tiba-tiba menghantam sisi filosofis saya tentang cinta, kejujuran, menjadi diri sejati.

Di akhir cerita, saya mendapatkan diri sendiri, berlinang air mata, entah bersyukur, entah kagum, atau karena tidak menyangka bahwa saya bisa tersentuh begitu mendalam lewat cara pengungkapan yang begitu ringan.”



Mudah-mudahan review sekaligus sinopsis yang sudah saya muat di sini mampu melengkapkan perjalanan awal "Perahu Kertas". Sekali lagi, terima kasih untuk segala dukungan, kunjungan, dan doanya.

Pic #1: Me and Reza, celebrating “Perahu Kertas” birth over lunch at FJ, Darmawangsa Square.

Sinopsis "Perahu Kertas"

Kisah ini dimulai dengan Keenan, seorang remaja pria yang baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Keenan memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Keenan diterima berkuliah di Bandung, di Fakultas Ekonomi.

Di sisi lain, ada Kugy, cewek unik cenderung eksentrik, yang juga akan berkuliah di universitas yang sama dengan Keenan. Sejak kecil, Kugy menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Kugy sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Kugy lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.

Kugy dan Keenan dipertemukan lewat pasangan Eko dan Noni. Eko adalah sepupu Keenan, sementara Noni adalah sahabat Kugy sejak kecil. Terkecuali Noni, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung.Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.

Lambat laun, Kugy dan Keenan, yang memang sudah saling mengagumi, mulai mengalami transformasi. Diam-diam, tanpa pernah berkesempatan untuk mengungkapkan, mereka saling jatuh cinta. Namun kondisi saat itu serba tidak memungkinkan. Kugy sudah punya kekasih, cowok mentereng bernama Joshua, alias Ojos (panggilan yang dengan semena-mena diciptakan oleh Kugy). Sementara Keenan saat itu dicomblangkan oleh Noni dan Eko dengan seorang kurator muda bernama Wanda.

Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Kugy lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Kugy menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Keenan.

Kedekatan Keenan dengan Wanda yang awalnya mulus pun mulai berubah. Keenan disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Keenan meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Wayan.

Masa-masa bersama keluarga Pak Wayan, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Keenan pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Keenan mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Kugy padanya, Keenan menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Kugy, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Remigius, atasannya sekaligus sahabat abangnya. Kugy meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Remi melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Kugy bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Kugy. Dan akhirnya Remi harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Remi juga akhirnya meluluhkan hati Kugy.

Sayangnya, Keenan tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Keenan terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Kugy dan Keenan tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.

Diwarnai pergelutan idealisme, persahabatan, tawa, tangis, dan cinta, “Perahu Kertas” tak lain adalah kisah perjalanan hati yang kembali pulang menemukan rumahnya.

Reintroducing “Perahu Kertas”

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan seputar sinopsis sekaligus mekanisme untuk mendapatkan Perahu Kertas, saya merasa sebuah penjelasan plus ‘contekan’ kecil tentang isi cerita memang dibutuhkan.

Proyek Perahu Kertas, sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, diinisiasi oleh adanya tawaran dari perusahaan content provider bernama Hypermind yang akan bekerja sama dengan sebuah perusahaan telekomunikasi untuk meluncurkan layanan buku digital yang bisa dibaca lewat layar HP. Seiring dengan proses yang berjalan, akhirnya proyek ini menggandeng XL sebagai pihak telco yang akan meluncurkan layanan ini kepada para pelanggan XL. Dan saya punya kontrak enam bulan eksklusif untuk tidak mencetak buku ini ke pasar umum. Jadi, selama enam bulan, terhitung 3 April 2008 (tanggal peluncuran resmi yang baru), Perahu Kertas hanya akan bisa dibaca lewat layar ponsel, bagi mereka yang pelanggan XL.

Sekitar bulan Oktober-November barulah Perahu Kertas bisa ditemui dalam versi cetak di toko-toko buku. Bagi yang kepingin membaca dan memiliki versi cetak ini, mohon bersabar, ya ☺

Dan, sekarang, the golden question: tentang apa sih Perahu Kertas ini?

Saya menyadari bahwa citra Supernova sangat lekat dengan identitas kepenulisan saya. Bahkan, bagi mereka yang fanatik, Supernova – baik isi, tema, maupun gaya penulisan – dianggap sebagai karakteristik tunggal saya dalam menulis. Kenyataannya, tidak demikian. Sejak dulu, saya menyadari bahwa rentang minat maupun gaya tulisan saya cukup luas. Saya bahkan bercita-cita menjadi penulis segala segmen. Saya ingin menulis untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Saya ingin menulis dari mulai fiksi hingga nonfiksi. Saya menikmati dongeng, puisi, fiksi populer, sastra, dan nonfiksi, sekaligus berkeinginan kuat untuk menciptakannya.

Bagi mereka yang ‘terkunci’ dengan serial Supernova 1 (KPBJ), mungkin agak terkejut membaca warna tulisan dalam Supernova 2 (Akar), apalagi dengan Supernova 3 (Petir) yang cenderung humoris dan ‘asal’. Begitu pula ketika muncul Filosofi Kopi, yang merupakan kumpulan cerita pendek saya yang pertama. Lagi-lagi, Perahu Kertas merupakan perjalanan yang berbeda dibandingkan semua karya saya sebelumnya.

Bisa dibilang, Perahu Kertas adalah fiksi populer saya yang pertama. Saya tidak bisa menggolongkannya ke dalam ‘chicklit’, karena dari karya-karya ‘chicklit’ yang saya baca dan pelajari di pasaran, Perahu Kertas jauh lebih berat ketimbang ‘chicklit’ – baik dari bobot maupun volume. Tapi, Perahu Kertas bukanlah Supernova atau Filosofi Kopi yang dikategorikan sebagai sastra (setidaknya ini pendapat saya, entah para pengamat/kritikus sastra di luar sana).

Bagi mereka yang pernah membaca “Ke Gunung Lagi” karya Katyusha pada tahun ’80-an, pasti mengerti apa yang saya maksud. Jika ada namanya, ke dalam kategori itulah Perahu Kertas bisa muat dengan pas. Sejauh ini saya lebih sreg menyebutnya sebagai fiksi populer. Lalu, apakah novel-novel populer Mira W dan V. Lestari cukup mewakili sebagai perbandingan? Tidak juga. Dari umur pembaca, Perahu Kertas lebih dekat ke remaja-dewasa (SMA ke atas). So, yeah, urusan penggolongan ini memang memusingkan. Makanya sejak dulu saya kurang suka dikotak-kotakkan.

I can never say much about category. All I know is, whatever and however my writings are, they have to be: touching, meaningful, entertaining, stimulating, awakening. Entah itu menulis dongeng balita atau nonfiksi, those are just my golden formulas. I care less about category.

I can only hope you will enjoy Perahu Kertas, as much as I enjoy writing it. I can only hope you will be touched, as I am touched throughout the whole creative process.

Sinopsis akan dimuat dalam posting terpisah. Enjoy!

Wednesday, March 12, 2008

Day 60 – Perahu Kertas Berlabuh

This is it. The 55 days project. Plus five. 5.55.
Funny. I saw that number this afternoon. Guess the universe was trying to tell me something, or reconfirm something. 555.

I started very late. Perhaps, knowing that this would be my last day, a part of me didn’t want to believe it. Walaupun hari-hari produksi ini bukanlah momen yang selamanya gampang dan mulus, malah seringnya berat dan keparat, ternyata di bawah sadar sana, saya merasa ada bagian yang merasa kehilangan dengan itu semua.

Pagi ini, saya pergi ke Pasar Cihapit bersama Keenan dan Berna, babysitter saya. Saya membeli aneka keperluan dapur, plus beli tempe bacem di warung nasi langganan saya (Bu Eha – you guys might have read her name in my ‘Cuap-cuap Penulis’ in Supernova 1). I just want to have the best lunch ever. After lunch, in a normal dining table that is, not on a sofa bed like I used to have in HQ, I started planning to escape.

I could hear Keenan was crying out loud when he realized I was gone. And I couldn’t bear it. So I left my HQ again, menemani dia nonton teve, sambil membacakan cerita. I just waited until he calmed down. Baru lepas pukul 3, saya bisa ‘kabur’.

I moved slowly in the beginning, bahkan beberapa kali sempat tergoda oleh ke-kurangpenting-an Facebook. Dan ternyata, memang ada ‘alur macet’ di awal Bab 46 ini, yang ketika jalan ceritanya dikoreksi, aliran kreativitas kembali lancar.

Saya bikin taruhan dengan produser saya, bahwa Perahu Kertas akan selesai pada pukul 9 malam. I said, I could do it. Lima menit menuju pukul 9, it’s finished. But, hey, I wanted to write an epilogue. So I added a half page. 9.05 PM, the story is completely finished. 12 Maret 2008, 9.05 PM, Perahu Kertas lahir.

I checked my word count. Ready? It’s 84,911 words.

The longest single novel I’ve ever written in my whole frikkin’ life.

The night was not over. Saya menyempatkan makan malam di HQ, terakhir kalinya dalam masa produksi Perahu Kertas. At 9.45, I went downstairs. Keenan masih bangun, dan kami sempat bermain. Bahkan saya sempat menonton American Idol.

The last part of the day: printing. Kemarin, saya sudah membeli toner baru karena tahu akan mencetak ratusan halaman. Dibantu oleh adik saya (dan komputernya yang super aneh bin ajaib itu), saya bertemu muka dengan Perahu Kertas pertama kalinya. Gosh. It was a FAT BABY! Tebalnya sekitar 4 sentimeter lebih. It was the thickest draft I’ve ever printed.

Everybody, I proudly present, my new baby:


Pic #2: Tampak Samping


And to my newborn, let me read to you the meaning of 555 in Angel Numbers:

Major changes and significant transformations are here for you. You have an opportunity to break out the chrysalis and uncover the amazing life you truly deserve.

Bon voyage, my child. May you have an amazing life. May you reside in many hearts. May you touch many souls.

Farewell, my child. You've broken your chrysalis. You belong to the world now. You’re free.

Day 59 – A Surprising ‘Ending’

As usual, I set up my HQ. A cup of coffee, a cup of hot chocolate, snacks that I haven’t finished, and lotsa of water. The rather unusual part was, Keenan didn’t go to school today. He woke up late, so did I. And so, it was quite challenging to find the perfect timing to escape.

I started a bit late. Close to lunch time. And it wasn’t easy to start the engine after it was heated up to such degree and then it took a sudden pause for three days. I felt like crawling back from zero.

Pe-er buntutnya Bab 43 pun masih tersisa. Akhirnya saya menyelesaikan Bab 43, dan mulai memasuki Bab 44 waktu siang menjelang sore. It was a rainy afternoon. Total, saya nggak keluar rumah sama sekali. Bahkan nggak keluar ruang kerja saya selama berjam-jam kecuali ke kamar mandi. And here’s the sms I wrote to my producer at 4.16 PM:

Moving on to the fifth page of Chapter 44. Gawat, nih. Bisa2 baru selesai di 46 instead of 45 ;p

My brain is extra burning today. Felt a slight headache. I was told that I might be rehydrated for I’d burned a lot of creative fire. And so I gobbled up some more water, and wrote, and wrote, and wrote.

Yep. Confirmed. I’m on Chapter 45… and… it’s not yet finished, people! Perahu akan menepi pada Bab 46. For sure.

I am so tempted to check my word count, but even for that, I didn’t have time. At 10 PM, I stopped. Otak terlalu panas. Kangen Keenan. And I really wanna take a hot shower. Phew.

Day 58 – Rescheduling

Pulang kembali ke Bandung sore hari. Berangkat pukul 5 dari Jakarta, dan tiba di Bandung pukul 7.30 malam. Keenan came along to pick me up. I miss him like crazy. Not only I didn’t have the heart to leave him for writing, I didn’t have the strength too. I was just so blah and tired.

I phoned Hypermind today, and asked about the launching. Saya agak khawatir karena tidak melihat persiapan yang cukup, dengan waktu yang terlalu mepet pula. Dan benar saja, sore hari tadi, saya mendapat kabar bahwa launching tanggal 12 positif diundur oleh pihak XL. And, yeah, that doesn’t mean much in my department, cause I’m still going to finish this project very soon. No reason to delay it. Na’da.

Tomorrow I’m going back to my HQ and launch this paper boat to its harbor. Wherever that may be.

Pausing The Timer (9) – Java Jazz

One of the biggest music events of the year. I’ve been missing it for two times, and I don’t miss this one. And so for three (exhausting) days, I rest my case. There’s just no way I can write. I’m still lucky to be alive and healthy. It was fun, but goddamn tiring. Lack of sleep, too much standing up, too much tobacco smoke, and mediocre food.
The music was so fine though. And I had the best company too. So, it was worth it. Wasn’t exactly the easiest week of my life, but I didn’t regret it. At all.

Sunday, March 9, 2008

Day 57 – Closer To The Final End

Sampai hari ini, saya masih belum tahu apakah cerita betulan berakhir di Bab 44 atau 45. Sejauh ini, saya masih melihat dua kemungkinan itu terbuka sama lebar. I didn’t go back to Bandung today. Jadi, secara realistis, saya hanya akan mengerjakan satu bab saja hari ini, instead of two. Sementara besok Java Jazz sudah dimulai. Well, one or two, 44 or 45, I’ll wing it. Like I have so many choice, anyway. Heheh.

Reza berbaik hati meminjamkan ruangannya di Dharmawangsa Square untuk saya pakai menulis seharian. I know I can hang out in a coffee shop, which I did when I first arrived at DS. Saya sempat menikmati segelas Banana Latte dan dua porsi tahu goreng. But seriously, who could stand working, munching and drinking for 6 hours in the same place? Dan benar saja. Pukul empat, my eyes were so heavy, I just needed a nap. Untungnya, saya dipinjamkan ruangan itu, jadi bisa tidur siang empat puluh menit.

Berbekal satu botol jus Mama Roz pemberian Reza, I worked till 5.30. Five pages of Chapter 43. It’s not entirely finished, though the page quota is met. And I still have a dinner appointment at 6.30. Menyempatkan diri untuk sejenak cuci muka dan blow-dry di salon terdekat. Due to that short nap, I did look like a mess.

Case closed tonight. Maybe. Word count: 79.370 words.

Did I say 77,700 once? Ah, well.

Day 56 – Incubus Intermezzo

Malam ini saya akan menonton konser Incubus. Marcell had bought me the ticket already. Knowing such a great band they are, I think it’s worth watching. And perhaps, I also deserve a little break. Tapi pekerjaan tidak bisa berhenti. Target hari ini adalah meneruskan Bab 42. And so I worked in my meditation room from morning till afternoon. Clock’s ticking. I planned to leave at four. Turns out, I finished at 3.30. Dalam keadaan belum mandi dan belum packing.

Rencana untuk pulang-pergi hari ini pun mengalami perubahan mendadak, dan mengharuskan saya untuk heavy packing coz I’ll be staying in Jakarta till next Monday. Keenan came along today as well. So, positively, there’s no more working.

Leave Bandung at 5 pm instead. Traffic jam in Pasteur. Came late to the concert. Bahkan terpaksa naik ojek ke Tennis Indoor Senayan karena sudah terlalu mepet. Sementara mobil akhirnya berpulang ke arah apartemen untuk mengantarkan Keenan dan babysitter saya. Yep. Ojek to Incubus. But again, it was worth it. In my opinion, I think Brandon Boyd is half-god. I believe that every child has its own path, and parents should not impose their own projections on their children, but that night, man, how I wish Keenan one day would grow as a rockstar. No, no, to be exact, to be as captivating and talented as Brandon Boyd. And have a great band. Heheh.

Thursday, March 6, 2008

Day 55 – The Final Countdown

When Keenan left for school, I went to the kitchen and made a preparation for my ‘new’ headquarter. I prepared: a big bottle of water, a jug of hot water, a sachet of hot chocolate, a cup of coffee, a bottle of juice, and some snacks. Rencananya, saya akan menggunakan ruang meditasi di lantai atas. Itulah tempat paling tenang yang bisa saya pakai. Tantangan paling besarnya adalah: tidak dekat dengan toilet dan tidak ada meja kerja.

Untuk tantangan yang pertama, saya janjian dengan babysitter dan pembantu saya, untuk menelepon dulu jika ingin ke toilet, termasuk untuk memesan makan siang, makan malam, dan kebutuhan lainnya. Untuk tantangan yang kedua, meja kerja sebenarnya ada di ruang kerja, hanya lima langkah dari ruang meditasi, dan untuk seharian mengetik, pinggang saya juga butuh sesekali untuk duduk tegak dan benar. Tapi, berhubung ruang kerja saya terbuka, dering hp atau tak-tuk keyboard komputer saya akan memancing kecurigaan Keenan. Jadi, saya hanya pindah ke ruang kerja hanya kalau Keenan tidur siang.

Pic #1: New HQ




It was quite fun and adventurous. Creating a headquarter at my own house, lengkap dengan segala trik dan kiat. Kesempatan bagi saya juga untuk mempraktekkan apa yang saya pelajari di Zen Kinesiology, coz practically I’m going to lock myself up in a room for one whole day. Dengan beberapa gerakan sederhana, aliran energi bisa kembali direvitalisasi. Saya melakukan cross crawl, brain button, dll. And it worked brilliantly.

So, I started at around noon, finishing chapter 39. Sore hari, I moved to 40. Sekitar pukul 6.30 malam, saya mulai dengan Bab 41. At 10 pm… I stopped.
Never in my life, I wrote that much in one day.

I checked my word counter. It’s… are you ready for this? Ehm. Ehm. It’s… 75,775 words!! Yiiiiihaaaaaaaaaaaaaaaa… Yiiiiippeeeeeeeeee!! Hoo-raaaaaay!! Saya ulangi lagi, sodara-sodara: Tujuh puluh lima ribu tujuh ratus tujuh puluh lima!!

But, wait. Is the story finished? Nope. Three chapters to go, people.
Though I’ve completed my main task: 40 chapters in 55 days, or 70,000 words in 55 days, this journal is not over. Perahu Kertas belum berlabuh.

Nevertheless, tonight I will sleep a big grin on my face. 55 working days, and here I am. Breaking any known writing record in my whole life. The mission is not perfectly accomplished in a way, for I haven’t finished the story. Namun perjalanan 55 hari kerja ini merupakan sebuah petualangan dan pengalaman yang tak ternilai. This method may work or may not work in my other writing projects. But at least, right now I have a taste of it, that at one point in my life, I know I have the ability to pull off something like this.

This is not the end. But I hope you get something out of this journey so far. May it be an inspiration, may it be a hillarious entertainment, I’m just thankful for your company. All of you.

From the deepest core of my being, thank you.

Wednesday, March 5, 2008

Day 54 – Home Sweet Home

Back to Bandung. I arrived at 6.30-ish. No more HQ. And not enough time, I know. But I still got to try.

Rencana langsung buyar begitu bertemu Keenan. I missed him so much I decided to just play with him all night till he fell asleep. Dan baru setelah dia tidur, saya berkesempatan menulis. Itu pun tidak banyak, coz I’m just too tired. Chapter 39, one and a half page only. Leaving me an enormous amount of work tomorrow.

Pausing The Timer (8): Zen Kinesiology

Another course that I’m taking, consecutively from last week. Still from the same teacher, Dharma. And so, I’m pausing the timer till Monday.

Nevertheless, I’ve scheduled Chapter 38 to be finished by the end of the week. Jadi, selama dua hari ini, saya menyisihkan satu setengah jam untuk menulis di coffee shop.

Dan selama kursus, saya bahkan ‘menyembuhkan’ stres deadline ini saat praktikum. And yeah, it does help me a lot. Voila. Chapter 38 is (almost) finished by Sunday evening.

Day 53 – Itsy Bitsy Writesy

Back in Jakarta. My plan today is just to finish chapter 38. I worked for an hour at Dharmawangsa Square. Not enough time, I know.
Dan semalam, Bab 37 saya belum selesai sempurna. Jadi, siang ini saya hanya merampungkan Bab 37 saya.
Kesempatan bekerja berikutnya adalah malam hari, juga hanya sekitar satu jam. Tapi cukup untuk mulai bergerak ke Bab 38.
I’m still behind schedule. Sheesh.

Day 52 – Road Runner

Day 52 – Road Runner

I even have to reschedule my parents-teacher meeting at Montessori. There’s just not enough time. Hari ini menyelesaikan Chapter 36 & 37. After Speedy Gonzales, now I feel like a Road Runner.
Plus, this will be my last day in the HQ. Kos saya berakhir di bulan Februari ini, dan besok saya sudah kembali ke Jakarta. Kunci kamar terpaksa saya titipkan ke sopir saya. Besok, dia dan satu pembantu saya akan membereskan barang-barang di kamar ini. So long, headquarter.
Malam ini, saya juga cuma bertemu dengan satu rekan sekos, Dian. Yang lain sedang keluar. I just wrote down their numbers, hoping that I can send them copies of “Perahu Kertas” in the future.
Juga malam ini, karena tidak ada waktu lagi, saya pergi ke rumah Mulki, sahabat saya/bassist Seurieus, untuk meminta info tentang Pantai Ranca Buaya yang akan saya pakai dalam cerita (dulunya Pantai Cipatujah, tapi saya batalkan, karena ternyata kunjungan pada malam hari tahun ’93 dengan kunjungan saya terakhir pada siang hari Desember ’07 kemarin ini sangatlah jauh berbeda). Dari rumah Mulki, saya dibekali satu CD berisi foto-foto Pantai Ranca Buaya, lengkap dengan peta, dsb.
Tomorrow morning, I’ll be leaving to Jakarta. Haven’t packed. Gosh. Arrived at home at almost 12 midnight. Burning brain.
Word count until Chapter 36: 66,126.

Wednesday, February 27, 2008

Day 51 – Final Mapping

Sore tadi, pihak Hypermind menelepon saya untuk mendiskusikan pembagian unit bab Perahu Kertas. Untuk versi digital ini, satu unit babnya akan terdiri dari empat bab versi analog (I don’t even know whether ‘analog’ is the correct term for this context or no, but you know what I mean, right? ‘Analog’ here means the chapter dividing system I use for the printed book later on). Dan satuan unit itulah yang kelak akan didapat para pembaca untuk satu kali download.

Yang lebih dahsyat lagi, bahkan mereka sudah menyiapkan tanggal launching dengan perusahaan telco-nya, which is XL, yakni tanggal 12 Maret. Saya belum tahu pasti apakah tanggal itu sudah 100% fixed or no, tapi yang jelas tidak akan terlalu meleset dari kisaran tanggal tsb.

But here I am, with a launching date, and still quite many chapters to go.
Hari ini, saya pulang ke Bandung. Sekitar jam 6 saya tiba di markas. Mulai bekerja untuk menyelesaikan chapter 35. Sekitar jam 8 akhirnya chapter 35 selesai. Dan saya tertumbuk pada pe-er berikut, yakni pemetaan final alias membuat outline sampai ending. Dan untuk menyusun peta ini saja sudah memakan hampir sejam sendiri. Gosh. I’ll be picked up in 10 minutes.

Anyway, here’s the result: the story will end at chapter 44. Approximately at 77,700 words. 11 units consist of 4 chapters each.

And now I am at 63,428 words. Submitting 8 units out of 11.

Seperlima kosong… atau tigaperlima isi? That is the question ☺

Pausing The Timer (7) – Zen Counselling

Due the Zen Counselling course that I’m taking (yang mudah-mudahan liputan tentang kegiatan itu bisa dituangkan terpisah di blog Dee-Idea), I have to pause the timer again. Kali ini saya mengambil cuti sampai hari Selasa. Saya berangkat ke Jakarta dari hari Kamis, memulai course dari Jumat hingga Minggu, dan harus mengerjakan beberapa hal lagi pada hari Senin dan Selasa, dan kesemuanya memakan waktu seharian sehingga saya tidak bisa memaksakan diri untuk bekerja. However, tanggal 25 Februari merupakan janji saya pada Hypermind untuk mengirimkan naskah Perahu Kertas. Akhirnya, tanggal 25, beberapa menit sebelum midnight, saya mengirimkan 32 chapter pertama.

Wednesday, February 20, 2008

Day 50 – Is it really…?

Is it really five more days? Is it really five more chapters? Both, I doubt.
I’m on Chapter 35 tonight. Started quite late today, got few things to do first, dan membuat outline untuk beberapa bab ke depan. Finished Chapter 34 at 8.30 pm. Dan rasanya cerita masih akan bergerak jauh melampaui Chapter 40, kecuali jika plot cerita ditata ulang. Yang jelas, melampaui 70 ribu kata.

I have to pause the timer again this weekend due to the course that I’ll be taking. But even with that pause, I doubt if I could finish the story. Karena sekarang ‘finish’ tidak mutlak Bab 40. Bisa saja Bab 40 terselesaikan, but that’s not gonna be the end of the story.

Anyhow, let me just count the words so far: 61,648.

Tuesday, February 19, 2008

Day 45 - 49

Day 49 – Going Through A Crisis

I started late today. Had several things to do first, termasuk menjemput babysitter saya dari rumah sakit. Baru sampai ke mabes jam empat sore.
And, man, I could feel my energy’s depriving. Hot chocolate, sebungkus kue ape, dua plastik cakue, tidak membantu sama sekali. Yang ada malah saya ngantuk luar biasa. Fell asleep for almost two hours. Dengan aneka perasaan jenuh, berbeban, dan sebagainya. Rasanya pekerjaan ini terlalu sulit. Nyaris tidak mungkin selesai tepat waktu. Bangun-bangun, sudah jam tujuh lebih.
And so I tried… a paragraph, and then two, and then three, and then a half page. The ball started to roll. Working on the second page, third, fourth. And I can say it’s done.
Target awal saya adalah dua bab dalam hari ini. Ended up with only one. Penuh perjuangan pula. Yet, I’m grateful that I’ve passed the crisis. Seriously, there were moments where I felt I couldn’t write a thing today. Phew.


Day 48 – Purrr-sistence

My babysitter won’t be coming back from the hospital until tomorrow. Pembantu saya yang satu lagi juga diposkan di rumah sakit untuk menjaga. Hari ini gantian menjaga Keenan dengan ayahnya. I sneaked out when Keenan was taking a bath. Marcell cerita kalau Keenan menangis ketika melihat saya sudah tidak ada. Yep. It was a heartbreaking experience.
Finishing Chapter 31. Slowly working on Chapter 32.
Akhirnya, pukul sebelas kurang… it’s finished.
Word count: 56,810 words.


Day 47 – Amazing Challenges


Finishing Chapter 30. Memulai Chapter 31 sampai tigaperempatnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Keenan stayed at his grandparent’s house ever since my babysitter was hospitalized. But I’m picking him up tonight. And I don’t want to miss Keenan’s bedtime. Saya minta dijemput pukul 10. Selesai tidak selesai. Dan… memang tidak selesai.
Besok terpaksa memulai dengan Chapter 30, instead of 31.
Marcell pulang ke Bandung malam ini, being such a godsend. Setidaknya besok saya bisa pergi bekerja dengan tenang karena Keenan bisa ditemani ayahnya.
Merenungi kembali semua tantangan selama mengerjakan Perahu Kertas ini… amazing how unexpected challenges keep on coming, eh? But I also see helping angels are everywhere.


Day 46 – Behind Schedule (I Think)


Still struggling and behind schedule. Finishing Chapter 29 and working on Chapter 30. Two pages only. Mengerikan!
Hari ini saya manggung pula, bersama Marcell di Mall Taman Anggrek. Finished at 9-ish, and went straight to Bandung. Tried to work a little. But my eyes were just too tired. Dapat kabar dari rumah, my babysitter was hospitalized. And I thought… uh-oh, what now? As if juggling with my work, deadline, Rectoverso, website, family, personal matter, is not overwhelming enough, and now… this. But as the saying goes: que sera, sera. Baby step. One step at a time. Gotta keep that in mind.


Day 45 – Carried Away

Rehat sehari yang menghanyutkan. Saya sempat lupa bahwa deadline sudah bukan lagi karet elastis yang masih bisa diulur dengan negosiasi. Deadline sudah berubah menjadi batu karang yang tak bisa digusur dan digeser, kecuali oleh sesuatu fenomena maha luar biasa, seperti… kejatuhan meteor, or, yea, something like that.
I tell you something about this deadline and its relation to my schedule. Meskipun resminya deadline Perahu Kertas adalah tanggal 25 Februari, saya harus berhenti menulis selama setidaknya 3 hari, yakni 22-24 Februari, karena harus mengikuti kursus Zen Counselling yang berlangsung dari pagi sampai malam. Sangat tidak realistis kalau saya masih menargetkan untuk menulis pada tanggal-tanggal tersebut, walaupun tidak ada salahnya dicoba jika kepepet.
Today, I worked very little. Not even LDLM. Still on Chapter 29. Bad me!

Pausing The Timer (6) – Valentine’s Day Break

Not usually a Valentine type. But I feel like honoring this day of love by not working, and just enjoy life… and… love. To the fullest.
Happy Valentine’s Day, everybody!

Day 35 - 44

Day 44 – Back to Jakarta

Although didn’t have so much target whenever I’m out of my HQ, today can be categorized as LDLM (Lumayan Daripada Lu Manyun – in case you guys forget this corny term that I love so much). Finishing Chapter 28, and starting Chapter 29.


Day 43 – Catching Up

Kembali ke markas. Menyelesaikan Chapter 27. Pukul 8.30-an malam mulai bergerak ke halaman ke-2 Chapter 28. Not bad, not bad at all.
I worked till 10 pm. Chapter 28 is almost finished, but not entirely. I’m letting it go, though. Rasanya malam ini lebih penting mengeloni Keenan ketimbang meneruskan pekerjaan.
Word count: 49,209 words.


Day 42 – Work Day (Non-Writing)


Shooting and then series of meetings. Going back to Bandung tonight at 9. Didn’t write at all. Too tired. Blah. Blah. Entah kenapa, di satu titik pada sore hari tadi, mendadak energi saya merosot drastis. Enek dengan segala sesuatu yang berbau pekerjaan.


Day 41 – Another Trip to Jakarta

Like I said, cannot hope too much when it comes to travelling. Besok saya ada syuting dengan Trans TV dan GlaxoSmithKline, jadi saya memutuskan pergi ke Jakarta dari hari ini supaya tidak terburu-buru.
Had a couple of things to do today, and they were stretched until midnight. Hanya sempat bekerja sekitar satu jam di Dharmawangsa Square, bertemankan segelas es teh dan sepiring tahu goreng. Not bad, though. Two pages or so. But still on Chapter 27.


Day 40 – New Perahu Kertas Record!


Inilah prestasi penulisan terpanjang dalam sejarah Perahu Kertas so far. Dua bab komplet dan utuh dalam satu hari. Chapter 25 dan 26… selesai hari ini juga. Dan perasaan saya mengatakan, apa yang dianggap rekor hari ini akan menjadi hal yang biasa bahkan harus menjadi kuota harian jika deadline sudah semakin dekat nanti. Nevertheless, I congratulate myself. Selamat ya, Dewi.


Day 39 – Speedy Gonzales!

Setelah beberapa kali berstatus LDLM, today I’m quite proud of myself. Hari ini berhasil menyelesaikan Chapter 23 PLUS Chapter 24! Whoo-hoo.
Word count: 41,795 words.


Day 38 – LDLM


Sekembalinya dari Jakarta, langsung menuju UNPAR untuk talkshow di acara pameran buku Fak. Ekonomi. Kembali ke markas Tubagus selepas pukul empat sore. And I missed Keenan too much I wanted to be picked up no later than 8 pm. Pulang dengan menghasilkan dua halaman dari Chapter 23. Sebuah status pencapaian yang saya istilahkan sebagai status LDLM. Lumayan Daripada Lu Manyun.


Day 37 – Trip to Jakarta

Series of meetings and a friend’s birthday party. Didn’t work today. By now I must say, writing while travelling – either business or pleasure – had become such a fantasy too, yang tetap enak diimajinasikan.


Day 36 – Back On Track


Finishing Chapter 22. Dengan harapan muluk bisa start Bab 23 malam ini juga, yang tentunya, tidak terjadi. By now I must say, continuing work at home had become such an impossibility, tapi tetap enak untuk diimajinasikan. Heheh.


Day 35 – Back From The Dead


Setelah hampir dua bulan menjadi buronan tempat kos (tetap bayar sih), hari ini saya kembali lagi. Aneh juga rasanya. Semuanya berdebu. Lantai, tempat tidur, meja kerja, kursi kerja, KBBI. Saya menghabiskan setengah jam pertama untuk beres-beres.
Even after that, I couldn’t work immediately. Otak saya pun rupanya berdebu. I realized there were many ‘upper layers’ of thoughts that had to be dealt with first. Saya mengetik beberapa pekerjaan dan hiburan yang tak ada hubungannya dengan Perahu Kertas terlebih dahulu.
After few hours, barulah saya memulai pekerjaan yang sesungguhnya. It was quite a struggle. Two pages. Medium-slow speed. And after two pages, my mind started to wither.
Hari sudah malam, dan saya minta dijemput pukul delapan. And so I went home. Wishing that I could continue at home. Nope. Didn’t happen. Two pages and didn’t move.

Newly Negotiated Deadline

January 29, 2008:

After exchanging few emails, saya dan Hypermind sepakat bahwa deadline baru untuk Perahu Kertas adalah 25 Februari 2008. Cannot be later than that karena pihak telco yang tertarik untuk bekerja sama telah menargetkan bulan Maret sebagai waktu peluncuran. These dates can still change, I know. But I also cannot delay any longer so I can work on other stuffs, or not work on all stuffs. Heheh. Kinda like the latter better.

I called my induk semang, Bu Ninong. Menceritakan kondisi saya, sekaligus menyatakan niat untuk memperpanjang tempat kos hingga akhir Februari. It has been proven. Having a headquarter is the best and most efficient way for me so far.

I count my calendar. Damn. Gotta work soon.

Monday, February 18, 2008

Garut Mission (Im)possible: 2 Stories in 2 Days

Kegiatan ini memang sudah cukup lama berlalu ketika saya menuliskan jurnal ini. Tapi inilah salah satu pengalaman menulis paling berkesan, produktif, sekaligus menyegarkan, yang membuat saya merasa cerita ini tetap patut dibagi. Dua hari, dua cerita pendek. Yang pertama saya selesaikan hingga jam 2 pagi, sementara yang kedua—yang berbahasa Inggris—saya tulis hingga jam 4 pagi. Dan sejauh ini, saya puas dengan keduanya.

Tapi, yang sangat berkesan adalah pengalaman berkreasi di lokasi yang begitu mendukung dan menyenangkan. Saya tiba di Garut menjelang sore, dan langsung disambut hujan besar. Setelah hujan reda, dengan cara memukul kentongan, saya pun memesan sebutir kelapa muda. Who would’ve guessed? Kelapa muda saya diantar berbarengan dengan komplimen sepiring singkong goreng. Dang! What a nice starting kick!

Pic #1: My Afternoon Snack




Penginapan yang dikelilingi sawah yang tak diperuntukkan untuk dipanen ini tentunya menjadi markas menyenangkan bagi burung-burung. Atap kamar saya ternyata menjadi rumah dari sekian banyak burung. Suara kepakan dan nyanyian burung menjadi pengiring konstan dari mulai pagi sampai malam. Tidak ketinggalan kokok ayam, suara aliran air di balong, dan aneka serangga.

Pic #3: My Working Spot




It was a rather close version of my heaven, actually. Well, minus the bugs, though. Sebuah fasilitas menginap yang nyaman dan sangat layak, suplai masakan Sunda setiap hari, udara sejuk tanpa mesin pendingin, breathtaking scenery everywhere I look… yeah, it was one heck of an experience.

Pic #2: My Heavenly Lunch



Malam pertama saya kedinginan bukan main, apalagi kerjanya sampai larut malam. Selimut tidak memberi banyak pengaruh. Pashmina yang saya bawa juga nggak ngefek. Akhirnya saya canangkan esok hari untuk mampir ke kota Garut demi membeli jaket.

Hari kedua, setelah makan siang, saya putuskan untuk ke kota Garut. Berhubung hanya didrop sopir saya, dan baru akan dijemput lagi esok harinya saat check-out, saya harus mengandalkan kendaraan umum. Usut punya usut, kendaraan praktis yang bisa mengantar saya adalah ojek. Akhirnya, dipanggillah tukang ojek langganan Mulih Ka Desa, yang katanya sudah biasa mengantar tamu.

Dengan helm yang mencekik kepala saking sempitnya, saya pun turun gunung ke Yogya Department Store di kota. Perburuan jaket berhasil dengan cukup sukses. Saya berhasil mendapatkan jaket berbahan fleece yang hangat. Saat perjalanan pulang, sopir ojek saya mendapat kode-kode entah apa dari rekan-rekannya yang berpapasan dengan kami. Lalu, ia meminta izin untuk mengambil jalan pintas karena ternyata di depan sana ada razia, dan dia tidak punya SIM. Well, so much of a ‘sopir langganan’. But I said, yeah, why not? Dan barulah saat itu saya merasakan ‘mulih ka desa’ yang sesungguhnya. Perjalanan masuk kampung dengan jalan berlubang dan berbatu-batu besar, terguncang-guncang selama perjalanan dan berusaha menjaga posisi duduk saya agar tetap stabil. Obat saya satu-satunya adalah pemandangan yang semakin indah. Other than that, it was quite a hellish ride. Walhasil, sesampainya di penginapan, kedua paha saya pegal serasa squat-jump tiga ronde.

Pada hari kedua ini, saya start menulis agak lebih sore. Sekitar pukul 1 pagi, tiba-tiba mati lampu. Penjaga malam yang tahu saya selalu bergadang sampai subuh (atau mungkin karena saya satu-satunya tamu hari itu), datang dan melaporkan bahwa tegangan listrik satu kota Garut turun karena ada gardu yang rusak. Tak lupa, ia menitipkan tiga lampu darurat untuk persediaan saya selama bekerja. Malam itu, saya bekerja berdasarkan ketahanan baterai yang tak lagi tersuplai listrik. Pukul empat pagi, baterai laptop saya tersisa di bawah 5%, dan pada saat itu jugalah cerita saya rampung. Perfect timing!

Bangun siang. Dijemput siang. Pulang sesudah makan siang. The Garut Mission is successfully accomplished.

Saturday, January 5, 2008

Pausing The Timer (5) – And this one has been a darn long break with a very late announcement… sorry.

Dear all,

It has been a while, I know. Juggling between the remaining RSD tour, Rectoverso, work, Christmas, New Year, family, friends, house errands, finally brought me to a point where I had to choose. Based on priority and physical-mental capacity, the most realistic choice was not to push myself on Perahu Kertas, and just let the project be paused for a while.

We’re now counting days for Rectoverso production. And I’m still two stories short. Babysitter saya pulang kampung selama dua minggu setelah tiga tahun tidak pulang. She just arrived yesterday. So, for the last two weeks, I consider myself lucky just to be able to check out my e-mails and wrote an article for Dee-Idea. Yeah, I did play with Facebook here and then, but that thing is no-brainer, so I considered it as my ‘colongan’ entertainment.

But has the deadline changed? Nope. Unfortunately not. Deadline tidak mau tahu dengan tur RSD atau pulang kampungnya babysitter saya selama dua minggu. So far, my fixed deadline is still this January (deadline saya pribadi—alias deadline idealis—adalah Desember, deadline dari perusahaan content provider adalah Januari). I dunno if I can lobby them to delay, kalau tidak, berarti sesudah ini tidak ada pilihan lain selain jungkir balik menyelesaikan Perahu Kertas sebisa-bisanya.

Namun berdasarkan penyusunan prioritas yang realistis, deadline Rectoverso lebih mendesak ketimbang Perahu Kertas. So I’m gonna have to say this 55-Days project is paused until I finish Rectoverso. Tomorrow, I’ll be gone for two-three days, back to the suburb, just for writing the two remaining RV’s stories. Pilihan saya jatuh pada… Garut. Ada satu penginapan plus restoran bernama “Mulih Ka Desa”. Saya sempat mampir ke sana sepulang dari Kawah Papandayan waktu tur RSD kemarin. Looks like it’s a convenient and wise choice for spending several days alone.

Ada satu pertanyaan yang mampir ke blog ini dan belum sempat saya jawab. I’ll try to answer it now. Pertanyaannya adalah: “Gimana caranya bagi waktu antara ngurus suami, anak, kerjaan rumah tangga, acara di luar, dan proyek menulis bukunyaa?” Jawabannya: Saya tidak tahu. Jujur, tidak ada metode khusus selain memilih dan menangani sesuai dengan situasi yang kerap berubah. Dan perjalanan yang tercermin dalam blog ini adalah contoh yang sempurna. Perahu Kertas yang tadinya mendominasi puluhan hari saya, tahu-tahu tergusur oleh tur RSD ke 12 kota, lalu Rectoverso muncul sebagai prioritas utama, tapi itu pun tergusur ketika babysitter saya pulang kampung dua minggu, so… seriously, I really dunno how, but just to juggle whatever ball that being thrown at me.

Was I always cool and composed throughout this juggling process? Certainly not. Beberapa hari yang lalu, saya bahkan berdansa-dansi di rumah dan nyanyi teriak-teriak demi menyalurkan stres, sampai akhirnya saya memutuskan untuk ke Garut beberapa hari demi menulis. Dan apakah nanti retreat menulis di Garut itu akan berhasil sesuai target? Apakah saya akan mengantongi dua cerita pendek saat pulang ke Bandung nanti? Tidak janji juga. But I’ll try my best to juggle with it, for sure.

It ain’t over till it’s over.