Day 10:
On the road, baby. Dari Bandung langsung menuju kantor majalah Kawanku. Ada tujuh belas naskah yang dinilai. Kita menentukan sepuluh besar, lalu juara satu sampai tiga. I would love to write special review on this matter, but later.
Dijemput jam 12.00 dan langsung menuju Muara Karang, Pluit. Talkshow di SMP-SMA Permai, until 14.30. It was pouring, mudah2an saja Jakarta tidak kembali banjir. This raining season is heavy. And of course, the traffic got heavier.
Sampai di Senayan City jam 16.30, jam 17.30 meeting setengah jam untuk acara hari Minggu besok. Langsung ke SCBD, ke pool-nya CitiTrans untuk kembali lagi ke Bandung. I took the 7 o’clock shuttle. Macet di Bekasi. Took me more almost three hours to get to Bandung. But, hey, no worries… cause I worked!
Pernahkah merasakan magisnya adegan yang sampai membuat kita, penulisnya sendiri, ikut merinding dan bergidik dan gemas? Oh, I just love it when it happens. And I had that magical moment today. Dang, I love my job.
Day 11:
01.11 PM:
Diserang virus malas yang sangat invasif. Gila. Maleeeeeeeeeesssssssssssssss… I didn’t even care of those excessive letters… males mandi… males nulis… malesss… malesss… malesss… bisa nggak sih, Kugy & Keenan & Noni & Eko & Wanda & Ami & Ical & Bimo & Pilik disuruh nulis cerita sendiri? Disusul oleh Pak Wayan & Lena & Adri & Jeroen & Luhde & Terry, dan semua orang yang terlibat pokoknya. Kabarin saya lagi kalau udah bab 35. Nanti baru saya sambung, lima bab mah cingcay lah!
Tahukah teman-teman, saya baru bab berapa? Setelah saya audit lagi, dari semua part yang saya edit doang dan re-write baru, total saya baru sampai BAB 15!!! Dan dari 15 sampai tamat nanti, tidak ada lagi bab yang cuma tinggal edit. Semuanya re-write.
Bisakah kata-kata muncul sendiri? Bisakah saya bekerja di depan komputer seperti orang mancing di pemancingan padat ikan, yang kata-katanya satu demi satu keluar sendiri di layar tanpa harus susah payah diketik?
Gila. Males. Males. MUALES… sampe MULES!
16.30:
Woke up from my nap. Dragged myself to the shower. Nope. Those words cannot write themselves. Those characters cannot write their own stories. Somebody gotta do it. And this lazy bum had signed a contract. This is the power of deadline, people. You have no choice but to honor the time, and honor the process. Dan saya harus melangkah, mau cuma setapak atau satu kilo, tapi novel ini harus diselesaikan.
17.00:
So I went to my head quarter. It was quiet. Ditemani cakue hasil beli di pinggir jalan barusan, dan secangkir teh tawar. Saya mulai bekerja. Bertarung dengan halaman kosong. Di bawah pengawasan mandor keji bernama: DEADLINE.
21.09:
My car is already outside. Saya memang sudah mencanangkan untuk bekerja di markas sampai jam 9 saja. I’ve done my four pages. But this chapter requires longer length, so I’ll continue at home.
Tema hari ini, jika disimpulkan, adalah my realization of deadline’s majestic power. Jika saja kontrak itu tak ada, tanggal itu tak ditentukan, virus malas yang menyerang tadi siang itu niscaya berlanjut berhari-hari hingga tak terhingga. I don’t need anymore proof. Tertundanya novel ini selama satu dekade merupakan bukti betapa dahsyatnya virus tersebut. Dan antibiotik yang ternyata manjur untuk menumpasnya adalah: Deadlinearix.
Even the name sounds lethal, huh?
Wednesday, October 31, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
hai Dee... salam kenal...
ReplyDeletesaya suka dengan postingan "Day 11"-nya. sekalian minta ijin buat nge-link kesini, boleh?
*ngarep*
I just love this journal! Merasa ada teman senasib sepenanggungan, hahaha.
ReplyDeleteSaya setuju. Deadline memang antibiotik paling ampuh. Berkali-kali saya coba bikin deadline untuk diri sendiri, tapi selalu gagal. Satu2nya deadline yang ampuh memang cuma perjanjian tertulis dengan penerbit (or magazine, in my case).. ^_^
Salam kenal juga, Pratanti. Monggo lho, silakan di-link.
ReplyDeleteCaio untuk Jenny! Mari kita gempur virus-virus itu! :)