Wednesday, October 10, 2007

Nasib (Calon) Anak Kos

Salah satu kendala menjadi penulis sekaligus ibu dari seorang balita adalah: time and attention management. I completely agree with Chris Baty’s concept of Novel’s Headquarter. Boleh jadi satu pojokan di kafe, atau satu meja di tempat publik apa pun, intinya kita harus membuat garis batas tegas antara hidup normal kita dan hidup kita sebagai penulis (this may imply that writers don’t have normal lives. Of course, that’s not entirely the case. But I also think it’s somewhat true to some extent). So, yeah, katakanlah kita memperlakukan misi kepenulisan ini sebagai our secret life. Seperti Renegade yang siang jadi hakim, malam jadi pahlawan pembela kebenaran. Ibarat siang jadi Yono malam jadi Yolanda.

So here’s the plan: saya merencanakan menjadi anak kos, setidaknya untuk 60 hari, sampai novel itu selesai. Of course, I will not live there for 24 hours, but I’ll be in my kos-kosan during my ‘working hours’. Therefore I can write, undisturbed, for—let’s say—morning till afternoon. Lalu sore-sore saya pulang, tidak menyentuh proyek ini lagi, dan mencurahkan perhatian penuh terhadap aspek hidup saya yang lain.

I will have an office! Yea! Never in my life I’ve had an office experience. So, what do I need for this office room? Oke. Saya butuh: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, internet, teve kabel (kalo ada), air hangat (kalo bisa), lokasi strategis dekat tempat makan.

Adik ipar saya masih kuliah, di UNPAR. Yeah. Mantan daerah kekuasaan. Like it. Dia membantu saya cari info kos-kosan. I gave him the specs. He came back with one number, katanya tempat ini memenuhi seluruh persyaratan di atas. So I dialled the number.

+ Selamat siang, Pak. Saya mau tanya, masih ada kamar kos yang kosong di sana?
* Boleh tahu adik kuliah di mana?
+ Sudah lulus, Pak. Saya butuh tempat kos untuk nulis buku…
* Maaf, ya. Tapi saya dan istri sudah berkomitmen hanya menerima yang masih mahasiswa.
+ Oh, gitu.


Dapat satu lagi kandidat tempat kos. Masih di daerah Ciumbuleuit. This time I will not say about my ex-mahasiswa status, or about my writing project.

+ Selamat siang, Mbak. Di sana, masih ada kamar kos yang kosong?
* Sebetulnya ada satu. Tapi sudah di-DP orang.


Sigh. But, cheer up, Dewi. There are dozen hundreds of kos-kosan out there. Ones that don’t care about me being the real mahasiswa or undercover mahasiswa. Ones that got some room available.

I got back to my brother in-law, and this time I downgrade my specs: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, ada warteg dalam radius 1 km. That’s it. That’s all I need.

The search continues…

4 comments:

  1. knapa nggak cari smacam padepokan ? mungkin bisa lebih inspiring?

    ReplyDelete
  2. For internet i think you can use the 3.5 G (HSPDA) technology, using handphone as modem or you can buy pcmcia card or USB modem for gsm, so it's not a big deal :)

    ReplyDelete
  3. Wira's right. It's not a big deal. In fact, I may not need any internet at all. It's just a lame excuse to have a distraction within reach, sepertinya halnya teve kabel. I didn't even watch TV in my daily life. Heheh.

    Padepokan memang ideal, tapi kurang pas dengan kondisi saya yang inginnya pp setiap hari. I really wish I can block 55 days of my schedule and just be there somewhere, isolated in nature. Masalahnya hal itu tidak dimungkinkan. Jadi 'an office', nggak terlalu jauh dari rumah, dan cukup private, menjadi syarat yang cukup memadai sekaligus realistis.

    Kos-kosan is not such a fuss, compared to renting a small house or apartment. Tinggal masuk, kunci kamar, pulang lagi, and that's it. Yah, mungkin pake nyapu2 dikit kali ye... hehe.

    ReplyDelete
  4. Mbak Dee, coba sekarang masih ngekos.. soalnya aku anak HI UNPAR jg.. lg pengen belajar bisa nulis konsisten..
    seandainya msi ngekos2 seru bgt. hhA

    ReplyDelete