Bangun pagi lagi hari ini, untuk pergi ke ITB, diskusi film di Festival Film Asia Afrika yang diselenggarakan Deplu dan LFM ITB. Dalam diskusi itu saya berkesempatan bersandingan dengan salah satu penulis favorit saya, Seno Gumira Ajidarma. Man, what a moment. Though I know him in person, and even his family (strangely enough, I’m a friend of his father and his son. So it’s three generation of friendship), but still I’m lightly starstrucked when he’s around. Diskusi berjalan sampai siang, dimoderatori oleh sahabat saya, Gustaff dari Common Room.
Rehat sejam, dan saya kembali diundang ke Common Room untuk bincang-bincang informal dalam rangka pembuatan forum Bandung Creative City, yang diprakarsai anak-anak muda Bandung dari berbagai bidang, dengan satu benang merang: kreativitas. I looked at them all, and I feel proud and blessed to be part of them. Kami rata-rata teman seangkatan, yang sudah saya kenal sejak SMP dan SMA, dan sekarang kami berkumpul membicarakan masa depan kota Bandung. Somehow it still felt like the kind of talk we had in front of our school yard, at our usual warung, etc. But now it’s happening in a larger scale.
Hari ini bergerak ke Bab 21. Merangkaaaak… but I’m getting there.
It’s so intriguing (and sometimes amusing) to have this deadline in December, sementara tanpa proyek ini pun, rasanya saya tak ada kesempatan bernapas. Well, I did breathe for a couple of days last week. Such an oasis. Tapi lepas dari sana, tanpa kompromi, acara demi acara langsung menghadang. Termasuk besok, pergi dua hari ke Tasikmalaya dan Kuningan bersama RSD.
Thursday, December 6, 2007
Day 33 – The Engine is On!
I’ve always believed that when it comes to creativity, timing is so mysterious. We can have a deadline, but somehow there’s a more powerful force than that. As you’ve all witnessed, after Rectoverso intense production, I couldn’t bring myself to move on to another project right away. Some transitional process is needed. Dan di dalamnya termasuk periode rehat, beristirahat, dan pemulihan.
Secara mengejutkan, di hari liburan kemarin justru saya mulai tergerak menulis. Walhasil, bab 20 selesai. My word count shows 34,650 words. I can now say I’m officially half way through.
Hari ini berangkat ke Cirebon bersama RSD. Had a heartfelt talk with the girls. Setelah jalan 7 kota bersama-sama, we realize our togetherness and our curhat session is what we miss the most.
The show was simple and nice. Penonton kebanyakan malu-malu tapi mau. Lagi-lagi, penonton Cirebon yang diramalkan berkarakter seperti Majalengka, kembali tak terbukti. They even were more shy than Banjar. But it was fun, despite the laron attack we had on stage. Ada satu laron yang bahkan dengan jitunya terbang ke mata saya. I couldn’t hold my laugh, though fortunately I could hold my note.
Secara mengejutkan, di hari liburan kemarin justru saya mulai tergerak menulis. Walhasil, bab 20 selesai. My word count shows 34,650 words. I can now say I’m officially half way through.
Hari ini berangkat ke Cirebon bersama RSD. Had a heartfelt talk with the girls. Setelah jalan 7 kota bersama-sama, we realize our togetherness and our curhat session is what we miss the most.
The show was simple and nice. Penonton kebanyakan malu-malu tapi mau. Lagi-lagi, penonton Cirebon yang diramalkan berkarakter seperti Majalengka, kembali tak terbukti. They even were more shy than Banjar. But it was fun, despite the laron attack we had on stage. Ada satu laron yang bahkan dengan jitunya terbang ke mata saya. I couldn’t hold my laugh, though fortunately I could hold my note.
Pausing The Timer (4)
Not only from Perahu Kertas, I think I need to pause my timer from ALL WORK!
The talkshow in Bogor will be my last work until Dec 4. Tanggal 5, tur RSD sudah kembali dimulai. So I firmly believe I need to take a break.
I’ve finished my talkshow at 12, then heading straight to Cengkareng airport. I’ll be flying to Bali for a short break. No internet. No singing. And, perhaps, no writing.
The talkshow in Bogor will be my last work until Dec 4. Tanggal 5, tur RSD sudah kembali dimulai. So I firmly believe I need to take a break.
I’ve finished my talkshow at 12, then heading straight to Cengkareng airport. I’ll be flying to Bali for a short break. No internet. No singing. And, perhaps, no writing.
Day 31 & 32 - Great Shows
Day 32 – Surprisingly Fine
Going to Banjar. Mental saya pun bersiap untuk rangkaian perjalanan melelahkan. Inilah kota terjauh dalam rute kami, empat jam dari Bandung. Sementara besok pagi jam 6 saya sudah harus ke Bogor untuk talk show jam 9 pagi di Botanic Center. Gila, gila, gila.
Isu yang kami terima, penonton Banjar agak mirip dengan Majalengka. Karena alasan itu, plus alasan saya harus cepat kembali agar tak terlalu lelah untuk ke Bogor, kami diposisikan main kedua sebelum terakhir.
Ternyata isu itu tak terbukti. Penonton, yang kebanyakan ABG dan tidak tahu lagu kami, tetap apresiatif dan duduk tertib. It wasn’t exactly Jatos, and the sound system wasn’t as perfect, banyak terjadi feedback, but it was considerably okay. Selesai jam 9.30, I rushed back to Bandung. Ide untuk langsung ke Bogor digugurkan karena terlampau melelahkan. Tiba di Bandung jam 2.30, hit the bed on 3. Dalam dua jam, harus kembali bangun dan bersiap ke Bogor.
Day 31 – The Best Show So Far
I noticed something. Timbre suara saya agak berubah, pertanda kebanyakan nyanyi. Rekaman dan show hampir berjalan nonstop. Seduhan air jahe merah menjadi andalan, termasuk upaya tak banyak bicara.
Hari ini RSD show di Jatos, alias Jatinangor Square. Dengan posisi yang dekat dengan Bandung, dan dengan komposisi yang hampir semua anak mahasiswa asal Bandung, this has been our most perfect audience so far.
Everything about the show tonight is blessed. The sound system was perfect, we hardly made any mistake, and our moods were uplifted. We had so much fun on the stage. Such a nice feeling.
Going to Banjar. Mental saya pun bersiap untuk rangkaian perjalanan melelahkan. Inilah kota terjauh dalam rute kami, empat jam dari Bandung. Sementara besok pagi jam 6 saya sudah harus ke Bogor untuk talk show jam 9 pagi di Botanic Center. Gila, gila, gila.
Isu yang kami terima, penonton Banjar agak mirip dengan Majalengka. Karena alasan itu, plus alasan saya harus cepat kembali agar tak terlalu lelah untuk ke Bogor, kami diposisikan main kedua sebelum terakhir.
Ternyata isu itu tak terbukti. Penonton, yang kebanyakan ABG dan tidak tahu lagu kami, tetap apresiatif dan duduk tertib. It wasn’t exactly Jatos, and the sound system wasn’t as perfect, banyak terjadi feedback, but it was considerably okay. Selesai jam 9.30, I rushed back to Bandung. Ide untuk langsung ke Bogor digugurkan karena terlampau melelahkan. Tiba di Bandung jam 2.30, hit the bed on 3. Dalam dua jam, harus kembali bangun dan bersiap ke Bogor.
Day 31 – The Best Show So Far
I noticed something. Timbre suara saya agak berubah, pertanda kebanyakan nyanyi. Rekaman dan show hampir berjalan nonstop. Seduhan air jahe merah menjadi andalan, termasuk upaya tak banyak bicara.
Hari ini RSD show di Jatos, alias Jatinangor Square. Dengan posisi yang dekat dengan Bandung, dan dengan komposisi yang hampir semua anak mahasiswa asal Bandung, this has been our most perfect audience so far.
Everything about the show tonight is blessed. The sound system was perfect, we hardly made any mistake, and our moods were uplifted. We had so much fun on the stage. Such a nice feeling.
Wednesday, November 28, 2007
Pausing The Timer (3)
Hari ini kembali lagi ke Colloseum, untuk take backing vocal. Mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir rekaman di Jakarta. Jika ada penambahan lagi, dan kemungkinan hanya untuk backing vocal saja, kita ingin mencoba rekaman di Bandung.
The shift will start at 5 pm. Saya akan berangkat ke Jakarta after lunch, dan langsung pulang lagi nanti malam. Besok tour RSD sudah kembali menanti. Aktivitas super padat ini lama-lama rasanya seperti cosmic joke. It’s so tiring it becomes so funny. Hahaha!
The shift will start at 5 pm. Saya akan berangkat ke Jakarta after lunch, dan langsung pulang lagi nanti malam. Besok tour RSD sudah kembali menanti. Aktivitas super padat ini lama-lama rasanya seperti cosmic joke. It’s so tiring it becomes so funny. Hahaha!
Day 30 – Torn Between Slankers and Viking
Another tour, kali ini kota yang dituju adalah Majalengka. There’s only one hotel in this town, dan fully booked karena ada rombongan haji. Akhirnya kami hanya transit sejenak di rumah pemilik radio yang menjadi sponsor acara.
I didn’t remember when was the last time I came across that kind of audience, barangkali ini pengalaman pertama kami. Begitu kami naik, penonton yang kebanyakan pria sudah merangsak maju ke panggung. Penonton yang duduk di belakang sepertinya tak akan melihat apa-apa, karena mereka yang di depan ini ogah duduk. Banyak yang bahkan duduk di atas pundak temannya sambil mengacungkan tangan. Mata mereka kebanyakan menggantung setengah, berteriak dan berjoget—bahkan ketika tidak ada musik. Beberapa ada yang menggelar spanduk Persib. Lagu Slank yang dibawakan oleh band sebelum kami membuat mereka semua berteriak orgasmik. I just knew it… we’re in a totally wrong crowd.
Sita masih sempat berusaha merebut hati mereka dengan meneriakkan “Hidup Persib” dan “Semoga Persib tidak keluar dari empat besar”. Saya sudah mau mati menahan ketawa. Namun lewat dari dua lagu, she gave up. We all gave up. They’re not our crowd. And we’re not their type of entertainers. Period. Hal itu dikonfirmasi ketika mereka tetap joget bahkan saat kami menyanyikan lagu “Kepadamu” yang slow dan mendayu-dayu itu. So, it was obvious, it wasn’t our song they loved, they just needed the drum beats.
Rida memutuskan di atas panggung untuk mengurangi lagu, dan sungguh keputusan yang bijak. Di pertengahan lagu terakhir, massa itu buyar mendadak karena terjadi perkelahian di luar. And of course, the fight was way much more interesting than our music. Seperempat lagu terakhir barulah kami melihat penonton yang duduk di belakang, yang memang datang untuk menonton RSD, dan terpaksa hanya menontoni punggung-punggung selama 6 lagu. Poor them. Poor us.
Heading back to Bandung at 10.30. It was some experience, all right.
I didn’t remember when was the last time I came across that kind of audience, barangkali ini pengalaman pertama kami. Begitu kami naik, penonton yang kebanyakan pria sudah merangsak maju ke panggung. Penonton yang duduk di belakang sepertinya tak akan melihat apa-apa, karena mereka yang di depan ini ogah duduk. Banyak yang bahkan duduk di atas pundak temannya sambil mengacungkan tangan. Mata mereka kebanyakan menggantung setengah, berteriak dan berjoget—bahkan ketika tidak ada musik. Beberapa ada yang menggelar spanduk Persib. Lagu Slank yang dibawakan oleh band sebelum kami membuat mereka semua berteriak orgasmik. I just knew it… we’re in a totally wrong crowd.
Sita masih sempat berusaha merebut hati mereka dengan meneriakkan “Hidup Persib” dan “Semoga Persib tidak keluar dari empat besar”. Saya sudah mau mati menahan ketawa. Namun lewat dari dua lagu, she gave up. We all gave up. They’re not our crowd. And we’re not their type of entertainers. Period. Hal itu dikonfirmasi ketika mereka tetap joget bahkan saat kami menyanyikan lagu “Kepadamu” yang slow dan mendayu-dayu itu. So, it was obvious, it wasn’t our song they loved, they just needed the drum beats.
Rida memutuskan di atas panggung untuk mengurangi lagu, dan sungguh keputusan yang bijak. Di pertengahan lagu terakhir, massa itu buyar mendadak karena terjadi perkelahian di luar. And of course, the fight was way much more interesting than our music. Seperempat lagu terakhir barulah kami melihat penonton yang duduk di belakang, yang memang datang untuk menonton RSD, dan terpaksa hanya menontoni punggung-punggung selama 6 lagu. Poor them. Poor us.
Heading back to Bandung at 10.30. It was some experience, all right.
Tuesday, November 27, 2007
Pausing The Timer (2)
Dua hari berikut, tanggal 26 dan 27 November, kembali menjadi hari produksinya Rectoverso. Kembali saya masuk studio untuk merekam vokal dua lagu terakhir yang merupakan nomor duet. Hari pertama, saya akan berduet dengan adik saya sendiri, Arina “Mocca”. Hari kedua, teman duet saya adalah Ridzky (dulu vokalis band bernama Tiket).
This shall be my first duet recording experience. Sounds fun. Dengan penata vokal, yang juga adalah teman saya dari SD, Irvan Nat, kami rekaman di studio Colloseum—studio yang juga dimiliki oleh sahabat lama saya, Baron (ex gitaris GIGI). You know, this is what I love the most about Rectoverso production. It’s a perfect combination between talents, professionalism, and friendship. I feel like I’m in a web of old familiar friends. Bahkan yang sepertinya baru kenal sekalipun ternyata sesungguhnya tidak terlalu ‘asing’. Contoh kasus: sekalipun saya baru kenal dengan Ridzky, tapi ternyata Ridzky sudah berteman lama dengan Irvan, dengan Baron, bahkan adiknya Ridzky—Rishanda—adalah pemain bass untuk semua lagu di Rectoverso.
Dari mulai eksekutif produser, produser, penata musik, penata vokal, pemain, bahkan kru… semuanya memiliki keterhubungan yang dekat dengan hidup saya dari berbagai era. This is such a blessed project. At least for me, I’m so happy to be in it, and to be with all of them. Can’t wait to share it with all of you.
This shall be my first duet recording experience. Sounds fun. Dengan penata vokal, yang juga adalah teman saya dari SD, Irvan Nat, kami rekaman di studio Colloseum—studio yang juga dimiliki oleh sahabat lama saya, Baron (ex gitaris GIGI). You know, this is what I love the most about Rectoverso production. It’s a perfect combination between talents, professionalism, and friendship. I feel like I’m in a web of old familiar friends. Bahkan yang sepertinya baru kenal sekalipun ternyata sesungguhnya tidak terlalu ‘asing’. Contoh kasus: sekalipun saya baru kenal dengan Ridzky, tapi ternyata Ridzky sudah berteman lama dengan Irvan, dengan Baron, bahkan adiknya Ridzky—Rishanda—adalah pemain bass untuk semua lagu di Rectoverso.
Dari mulai eksekutif produser, produser, penata musik, penata vokal, pemain, bahkan kru… semuanya memiliki keterhubungan yang dekat dengan hidup saya dari berbagai era. This is such a blessed project. At least for me, I’m so happy to be in it, and to be with all of them. Can’t wait to share it with all of you.
Day 27-29 - A Short Holiday
Day 29:
Pulang ke Bandung. Kami merencanakan pulang via Garut dan makan siang di sana. Ada sebuah tempat makan yang mengusik rasa penasaran saya, dan saya putuskan untuk mengecek kembali tempat yang kemarin terlewat ini. Namanya “Mulih Ka Desa”, sebuah restoran dan hotel di tengah sawah. Nice place. It’s like West Java’s version of Ubud.
Sampai di Bandung, langsung dihadang rapat serius dengan teman-teman dari Penerbit Truedee. Untungnya, rapat diadakan di rumah saya, so I didn’t have to spend another trip on the road. Enough with these three days. Kami membicarakan rencana kerja sebulan ke depan. Dan tentu saja, “Perahu Kertas” juga disinggung.
You know what? If my speed is constantly a chapter a day, I have to work pretty soon.
Day 28:
Meneruskan tema piknik dengan berkunjung ke Kawah Papandayan sehabis sarapan pagi. The view was unbelievable. Tapi perjalanan menuju kawah terasa sangat sepi, tidak ada mobil yang berpapasan. Sesampainya di atas, baru kami tahu kenapa. Meletusnya kembali Papandayan tahun 2002 telah menghancurkan jalan aspal yang tadinya bisa membawa orang-orang langsung ke dekat kawah. Sekarang kami harus trekking di jalan berbatu yang lumayan parah untuk bisa sampai ke sana. And I was with Keenan, so I thought I had to skip. But that little boy managed to walk for a hundred meters or so, di atas jalan berbatu dan menanjak, dengan sendalnya yang sedikit kebesaran.
Sekitar jam 12 kami turun ke bawah, langsung menuju Sweet Water, alias Ciamis. Didn’t go out much in Ciamis, just took a long nap. The show tonight was okay, too. Although Ciamis audience was more challenging than Garut. Lebih cool dan pelit tepuk tangan. Keenan juga protes ingin ikut pergi dan baru dibawa pulang ke hotel lagi setelah lagu kedua. Sponsored by a cigarette company, you can imagine the dense tobacco air wherever you go. Not an ideal place for a child.
As usual, the show ended at around 11. The rest of the group went back to Bandung tonight. I decided to stay over.
Day 27:
Mental saya mengondisikan bahwa perjalanan berikut ini adalah liburan. I’ve always loved Garut. Been there once when I was in my junior high, and it left a deep impression in me. Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan sampai membuat cerbung yang sebagian besar mengambil lokasi di Garut (proyek cerbung pertama saya sebelum “Perahu Kertas”).
The view was still breathtaking. Something about the rice fields and mountains, they always manage to move me. Sedari kecil saya mendamba punya kampung halaman yang bisa dikunjungi ketika liburan, persis seperti cerita-cerita standar buku teks SD. And I found refuge in my friends’ grandparents. I had my first ‘berlibur ke rumah nenek’ adventure when I was in 6th grade, and I got addicted ever since. Dan jika ditelaah lagi dari selera makanan, pola perilaku, minat tema cerita, dsb, one can easily detect the eternal ‘anak kampung’ within me.
Sempat berjalan-jalan ke pusat kota Garut bersama Rida dan Sita, makan sop buah dan tahu goreng. Di tengah jalan, saya minta berhenti. I took Keenan for a delman ride. He was ecstatic, and so was I. Baru berasa ada di Garut. Persis di depan Universitas Garut—tempat kami manggung malam ini, there was a heavenly spot. Ada sebuah lengkungan jalan dengan pemandangan sawah membentang dan gunung Papandayan yang menjulang raksasa, dan di lengkungan itu terdapat satu pohon besar dengan bunga oranye bermekaran. Di tengah-tengah pemandangan serba hijau, pohon berbunga oranye itu mencuat sendirian, menyala seperti kebakaran. It was beautiful.
The show tonight was quite good. Banyak penggemar lama RSD yang datang, duduk mendengarkan sambil mulutnya komat-kamit ikut bersenandung. And we still had those fresh mango juices in our waiting room. Yummy.
Pulang ke Bandung. Kami merencanakan pulang via Garut dan makan siang di sana. Ada sebuah tempat makan yang mengusik rasa penasaran saya, dan saya putuskan untuk mengecek kembali tempat yang kemarin terlewat ini. Namanya “Mulih Ka Desa”, sebuah restoran dan hotel di tengah sawah. Nice place. It’s like West Java’s version of Ubud.
Sampai di Bandung, langsung dihadang rapat serius dengan teman-teman dari Penerbit Truedee. Untungnya, rapat diadakan di rumah saya, so I didn’t have to spend another trip on the road. Enough with these three days. Kami membicarakan rencana kerja sebulan ke depan. Dan tentu saja, “Perahu Kertas” juga disinggung.
You know what? If my speed is constantly a chapter a day, I have to work pretty soon.
Day 28:
Meneruskan tema piknik dengan berkunjung ke Kawah Papandayan sehabis sarapan pagi. The view was unbelievable. Tapi perjalanan menuju kawah terasa sangat sepi, tidak ada mobil yang berpapasan. Sesampainya di atas, baru kami tahu kenapa. Meletusnya kembali Papandayan tahun 2002 telah menghancurkan jalan aspal yang tadinya bisa membawa orang-orang langsung ke dekat kawah. Sekarang kami harus trekking di jalan berbatu yang lumayan parah untuk bisa sampai ke sana. And I was with Keenan, so I thought I had to skip. But that little boy managed to walk for a hundred meters or so, di atas jalan berbatu dan menanjak, dengan sendalnya yang sedikit kebesaran.
Sekitar jam 12 kami turun ke bawah, langsung menuju Sweet Water, alias Ciamis. Didn’t go out much in Ciamis, just took a long nap. The show tonight was okay, too. Although Ciamis audience was more challenging than Garut. Lebih cool dan pelit tepuk tangan. Keenan juga protes ingin ikut pergi dan baru dibawa pulang ke hotel lagi setelah lagu kedua. Sponsored by a cigarette company, you can imagine the dense tobacco air wherever you go. Not an ideal place for a child.
As usual, the show ended at around 11. The rest of the group went back to Bandung tonight. I decided to stay over.
Day 27:
Mental saya mengondisikan bahwa perjalanan berikut ini adalah liburan. I’ve always loved Garut. Been there once when I was in my junior high, and it left a deep impression in me. Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan sampai membuat cerbung yang sebagian besar mengambil lokasi di Garut (proyek cerbung pertama saya sebelum “Perahu Kertas”).
The view was still breathtaking. Something about the rice fields and mountains, they always manage to move me. Sedari kecil saya mendamba punya kampung halaman yang bisa dikunjungi ketika liburan, persis seperti cerita-cerita standar buku teks SD. And I found refuge in my friends’ grandparents. I had my first ‘berlibur ke rumah nenek’ adventure when I was in 6th grade, and I got addicted ever since. Dan jika ditelaah lagi dari selera makanan, pola perilaku, minat tema cerita, dsb, one can easily detect the eternal ‘anak kampung’ within me.
Sempat berjalan-jalan ke pusat kota Garut bersama Rida dan Sita, makan sop buah dan tahu goreng. Di tengah jalan, saya minta berhenti. I took Keenan for a delman ride. He was ecstatic, and so was I. Baru berasa ada di Garut. Persis di depan Universitas Garut—tempat kami manggung malam ini, there was a heavenly spot. Ada sebuah lengkungan jalan dengan pemandangan sawah membentang dan gunung Papandayan yang menjulang raksasa, dan di lengkungan itu terdapat satu pohon besar dengan bunga oranye bermekaran. Di tengah-tengah pemandangan serba hijau, pohon berbunga oranye itu mencuat sendirian, menyala seperti kebakaran. It was beautiful.
The show tonight was quite good. Banyak penggemar lama RSD yang datang, duduk mendengarkan sambil mulutnya komat-kamit ikut bersenandung. And we still had those fresh mango juices in our waiting room. Yummy.
Thursday, November 22, 2007
Day 26 – An Epiphany
Obrolan saya dengan Butet Kartaredjasa beberapa hari yang lalu memberikan saya pencerahan kecil tentang apa yang terjadi dengan saya sekarang ini.
Sewaktu syuting kemarin ini, kami berdua sempat mengobrol soal kegiatan Mas Butet yang baru saja kelar mementaskan sebuah monolog. Saya bertanya tentang cara dia mempersiapkan diri, dsb. Lalu Mas Butet menambahkan satu poin yang menjadi pencerahan bagi saya, beliau bilang: “Salah satu hal yang paling sukar dari pementasan adalah masa sesudahnya. Bukan hanya persiapannya. Memadamkan adrenalin dan cengkeraman kita pada pementasan itulah yang butuh waktu panjang. Saya pasti susah tidur berhari-hari. Dan saya biasanya hanya mau pementasan paling banyak setahun sekali.”
And I thought… that’s exactly it! That’s what I’ve been experiencing, and I still am. Dan saya terpukau sendiri, kok bisa-bisanya saya meluputkan satu faktor penting ini. Setelah berkarya empat buku, I knew exactly how that felt. Tapi masalahnya belum pernah saya diimpit multi-deadline sekaligus, jadi situasi ini terbilang baru. Namun saya dengan naifnya sempat bingung, kok saya nggak bisa nulis, ya? No matter how I pushed it, nothing came out. And I thought I was just making excuses for myself.
Ibarat orang baru melahirkan, selalu terjadi luka yang butuh waktu penyembuhan. I have experienced both physical birth and creative birth. And for some time after those births, I remember of living a limbo-esque period. Rasanya kayak nggak di sana, nggak di sini. My mental still clenched and grabbed onto my old project—yang bahkan belum berakhir karena tanggal 25-27 Nov ini saya masih harus rekaman lagi. But my logical mind told me to go on with the timer. And so here I am.
Tell you the truth, I really dunno when this ‘wound’ heals. It may take days, or weeks. Dan dengan timer yang sudah telanjur saya nyalakan kembali tanpa memikirkan faktor ‘luka’ pasca-produksi, I really dunno if I can make it. But I am less worried about it. Thanks to the enlightening conversation I had with Mas Butet.
Besok akan kembali menyusuri Jawa Barat bersama Rida dan Sita sampai hari Minggu. Saya putuskan untuk membawa Keenan serta agar kami bisa liburan sejenak memandangi gunung dan sawah.
Domba Garut… here we come!
Sewaktu syuting kemarin ini, kami berdua sempat mengobrol soal kegiatan Mas Butet yang baru saja kelar mementaskan sebuah monolog. Saya bertanya tentang cara dia mempersiapkan diri, dsb. Lalu Mas Butet menambahkan satu poin yang menjadi pencerahan bagi saya, beliau bilang: “Salah satu hal yang paling sukar dari pementasan adalah masa sesudahnya. Bukan hanya persiapannya. Memadamkan adrenalin dan cengkeraman kita pada pementasan itulah yang butuh waktu panjang. Saya pasti susah tidur berhari-hari. Dan saya biasanya hanya mau pementasan paling banyak setahun sekali.”
And I thought… that’s exactly it! That’s what I’ve been experiencing, and I still am. Dan saya terpukau sendiri, kok bisa-bisanya saya meluputkan satu faktor penting ini. Setelah berkarya empat buku, I knew exactly how that felt. Tapi masalahnya belum pernah saya diimpit multi-deadline sekaligus, jadi situasi ini terbilang baru. Namun saya dengan naifnya sempat bingung, kok saya nggak bisa nulis, ya? No matter how I pushed it, nothing came out. And I thought I was just making excuses for myself.
Ibarat orang baru melahirkan, selalu terjadi luka yang butuh waktu penyembuhan. I have experienced both physical birth and creative birth. And for some time after those births, I remember of living a limbo-esque period. Rasanya kayak nggak di sana, nggak di sini. My mental still clenched and grabbed onto my old project—yang bahkan belum berakhir karena tanggal 25-27 Nov ini saya masih harus rekaman lagi. But my logical mind told me to go on with the timer. And so here I am.
Tell you the truth, I really dunno when this ‘wound’ heals. It may take days, or weeks. Dan dengan timer yang sudah telanjur saya nyalakan kembali tanpa memikirkan faktor ‘luka’ pasca-produksi, I really dunno if I can make it. But I am less worried about it. Thanks to the enlightening conversation I had with Mas Butet.
Besok akan kembali menyusuri Jawa Barat bersama Rida dan Sita sampai hari Minggu. Saya putuskan untuk membawa Keenan serta agar kami bisa liburan sejenak memandangi gunung dan sawah.
Domba Garut… here we come!
Tuesday, November 20, 2007
Day 23-25 - The Mid Crisis
Day 25 – The Mid Crisis
A friend of mine told me, after those intense days I had with Rectoverso, I do deserve a few days break. So far, his words were proven to be true. No matter how I pushed my system, no words poured out. I just couldn’t bring myself to write.
But as the days go by, I start to worry. Will I write? Of course I will. Will I finish this project on time? I dunno, but heck, I’ll make sure I will. When I will I start writing again then? I dunno. I totally dunno. One of these days I hope.
Hari ini ada shooting untuk acara internal PT Djarum. Kembali ke Jakarta. Dengan rangkaian kegiatan yang bertubi-tubi ini, I’m still very tired. Rasanya ingin unplug dari dunia persilatan ini sejenak. Unplug—dalam arti melepaskan pikiran dan segala faktor mental dari badan, lalu membiarkan si badan beristirahat total. Ada nama singkat untuk itu: mati suri. Saya sering berkhayal andaikan mati suri itu bisa diprogram. Datang ke sebuah institusi lalu bilang, “Pak/Bu, saya mau ambil paket mati suri 3 hari 2 malam. Single bed saja, kamar standard.”
Kini jam menunjukkan pukul 12 siang, perut baru diisi gado-gado, semalam kurang tidur, jadi sekarang ngantuknya minta ampun. I’m sitting on a very comfy bed, and, oh boy, do I want to doze off and leave the world behind. But I’m wearing this heavy make up on my face and I don’t want to smear this clean sheet.
Lagu “Home” Michael Buble lewat di kepala. No. I wasn’t exactly in Paris or Rome. To be exact, I was in Jawa Barat area. The name “Cianjur” or “Garut” sounds more relevant, okay. And here I am in Jakarta, feeling the same way like Buble. Maybe surrounded by a million people, I still feel all alone, I just wanna go home. I miss you, you know. I feel like I’m living someone else’s life. Another aeroplane, another sunny place, I’m lucky I know, but I just wanna go home. Let me go home. I’m just too far from where you are. I wanna come home.
Saya membaca di buku Chris Baty bahwa kebanyakan peserta Nanowrimo (gerakan nasional menulis novel dalam sebulan yang diprakarsainya) mengalami grafik persis seperti yang saya alami sekarang: awal yang cemerlang, masa pertengahan yang berat dan penuh krisis, dan pada akhirnya semangat sekaligus wisdom dari dua fase itu bertemu dalam fase terakhir yakni penyelesaian novel. I’m not trying to make excuses for myself (well, maybe I am, a bit), but here I am, right in the middle process. And as you’ve witnessed, I’ve been rambling from mati suri to Michael Buble, just to say this point: I’m in a crisis. I’m in a deep shit and kinda enjoying it.
I wanna go home.
Day 24 – Cheap Trick
Beberapa sahabat saya dari Jakarta talk show di Bandung hari ini, dan saya bergabung menjadi tim hore mereka, alias penggembira, alias groupie. Malamnya menemani sahabat saya makan di Paris Van Java sebelum dia kembali ke Jakarta.
Keenan sudah membaik, dan demamnya sudah hilang.
Hari ini saya pakai baju biru dan putih, matching dengan sepatu biru putih, tas putih, jam putih. Call me Miss Matching of the year.
Tadi sore saya ke bank, melaksanakan transfer untuk biaya produksi Rectoverso.
Malam ini saya kekenyangan. Tahu telor yang tadi saya makan rasanya di ujung tenggorokan. I couldn’t eat too much egg anymore. Blah.
Hari ini tidak hujan seharian.
Malam sangat panas, sampai harus menyalakan AC.
— Okay, by now you probably wonder, why am I torturing you with those unelemental, unessential, unimportant details? And by now, you probably have guessed that I did all those on purpose, because… YEP! You got it! I STILL HAVEN’T WRITTEN ANYTHING YET! It’s another zero page day, everybody! —
Day 23 – Taking Care Of The Real Things
Selain kondisi Keenan yang membutuhkan perhatian penuh, juga kondisi saya yang tidak terlalu fit akibat kurang tidur, rasanya hari ini saya harus kembali menerima kenyataan bahwa tidak ada halaman baru, bahkan kata baru. I didn’t even open the files.
Namun pagi ini kembali harus ke luar untuk beberapa urusan. Salah satunya belanja makanan buat di rumah. Iseng, saya mampir ke Pasar Cihapit—the traditional market that I grew up with as a child. Boy, it was such a fun experience. I was reminiscing my childhood by eating kue pukis, buying some veggies from the vendors who had known me since I was a kid. The familiar smiles, the friendly greetings… I realized how much I loved that place. It was one of my happy places, evoking lotsa happy thoughts. I wanna come here more often.
Selepas acara belanja, I didn’t go out again. Hari ini didedikasikan untuk merawat Keenan dan tidur. Pukul 9 malam saya sudah tidak sanggup lagi menahan kantuk. Gile, kapan coba Dewi Lestari si Ratu Begadang udah tidur jam 9? Haha. This is such a rarity all right.
Sunday, November 18, 2007
Day 22 – Suatu Hari Di Bengkel Imajiner
I know. I have more than enough reasons for not having to write. Anak sakit, and he desperately needed my attention, apalagi setelah ibunya ini menghilang enam hari rekaman di Jakarta.
Pukul dua siang, saya baru berangkat dari rumah—dengan berat hati tentunya, tapi apa daya tugas menanti. Keenan ikut mengantar, dengan keadaan masih lemas dan badan hangat, tapi dia bersikeras sekeras-kerasnya ingin masuk mobil jadi terpaksa saya izinkan. Saya janjian bertemu Sita di Studio Aru di Jalan Riau. Lalu kami pergi menjemput Rida ke Cimahi. Benar-benar rute kilas balik. Beginilah agenda rutin kami zaman dulu kala. Mobil akan menjemput Sita, saya, lalu Rida.
Hari kami berangkat ke Cianjur. Tur kali ini memang tur Jawa Barat. You name it lah, dari mulai Subang sampai Cirebon. Dibilang jauh ya enggak jauh, tapi dibilang dekat, juga tidak lagi ‘terasa’ dekat karena sudah terbiasa bablas tol nonstop sampai Jakarta. Rute lewat jalan biasa ini terasa lama dan nggak sampai-sampai. But it was fun to be with the girls again, dengan topik pembicaraan klasik, celetukan khas masing-masing, dsb. Bedanya, sekarang kami bisa latihan di jalan sambil mendengarkan lagu RSD yang berkumandang lewat ponsel, kalau dulu harus putar kaset.
I brought my computer all right. But our spicy talks, the sleepiness after eating 6-7 pieces of jajanan pasar somehow inhibited me from writing. We arrived at Cianjur at around six. Dinner, preparation, make-up, blabla, and we had to go to the venue. The name of the place was BCNY. Singkatannya apa ayo? Mungkinkah Bandung-Cianjur-New York? Temukan jawabannya di paling bawah. Dan tak lupa saya selipkan foto kami, RSD versi Reuni, yang diambil sebelum naik panggung.
It was the most ‘extra-ordinary’ stage I’ve ever been on. Antara panggung dan penonton terdapat sebentang jalan tempat kendaraan keluar masuk tempat parkir. Jadi, selagi kami menyanyi, motor berseliweran, mobil melintas di depan hidung. Haha. But anyhow, it was fun. Selain posisi panggung yang luar biasa, tempat tunggu artisnya pun spektakuler. The coolest I’ve ever had. Ada semacam bar tempat minuman dan makanan disajikan, lengkap dengan ‘bartender’-nya. Menu yang ditawarkan antara lain: jus mangga segar, jus alpukat segar, dan roti bakar yang dibuat mendadak. Jadi, selain ada blender dan stok buah, ada juga oven di sana. Love it. Setelah punya pengalaman ini, makanan dus menjadi super-duper basi.
Finished at 22.30, kembali ke hotel, beres-beres, dan kembali ke Bandung jam 23.30. Rute kepulangan yang sama seperti dulu: Rida, saya, lalu Sita. On my way back, I know I shoulda write. But I was just too lazy, jalanan pun rasanya terlalu berkelok-kelok.
Di kepala saya tergambarlah sebuah adegan. Ada bengkel imajiner tempat saya membawa mesin kepenulisan saya untuk diservis. Lalu saya bertanya pada montir:
D: Pak, mesinnya nggak mau jalan.
M: (mengecek) Wah, akinya ini mah, Neng. Soak!
D: Gimana atuh?
M: Ya kudu diganti, Neng.
D: (mengecek kantong) Nggak bawa uang, Pak.
M: Ya tunggu aja sampe punya uang.
D: Tapi saya buru-buru, Pak. Dikejar deadline.
M: Ya didorong we.
D: Didorong? Sama siapa?
M: Ya sama Neng sendiri.
D: Bapak nggak bisa bantu?
M: Sibuk, Neng. Bapak juga ditunggu klien. Ada deadline ngebetulin sokbleker, bekleding sama kabilator.
D: Jadi, saya dorong sendiri, Pak?
M: Di sebelah sana ada turunan, Neng. Jalan sedikit dulu, siapa tahu mobilnya bisa ngegorolong sendiri.
D: (menelan ludah)
Mesin mati. Nol halaman. Panas Keenan 39 derajat. Tidak tidur sampai pukul tiga subuh.
* Jawaban: BCNY = Barudak Cianjur Nongkrong Yuk
Pukul dua siang, saya baru berangkat dari rumah—dengan berat hati tentunya, tapi apa daya tugas menanti. Keenan ikut mengantar, dengan keadaan masih lemas dan badan hangat, tapi dia bersikeras sekeras-kerasnya ingin masuk mobil jadi terpaksa saya izinkan. Saya janjian bertemu Sita di Studio Aru di Jalan Riau. Lalu kami pergi menjemput Rida ke Cimahi. Benar-benar rute kilas balik. Beginilah agenda rutin kami zaman dulu kala. Mobil akan menjemput Sita, saya, lalu Rida.
Hari kami berangkat ke Cianjur. Tur kali ini memang tur Jawa Barat. You name it lah, dari mulai Subang sampai Cirebon. Dibilang jauh ya enggak jauh, tapi dibilang dekat, juga tidak lagi ‘terasa’ dekat karena sudah terbiasa bablas tol nonstop sampai Jakarta. Rute lewat jalan biasa ini terasa lama dan nggak sampai-sampai. But it was fun to be with the girls again, dengan topik pembicaraan klasik, celetukan khas masing-masing, dsb. Bedanya, sekarang kami bisa latihan di jalan sambil mendengarkan lagu RSD yang berkumandang lewat ponsel, kalau dulu harus putar kaset.
I brought my computer all right. But our spicy talks, the sleepiness after eating 6-7 pieces of jajanan pasar somehow inhibited me from writing. We arrived at Cianjur at around six. Dinner, preparation, make-up, blabla, and we had to go to the venue. The name of the place was BCNY. Singkatannya apa ayo? Mungkinkah Bandung-Cianjur-New York? Temukan jawabannya di paling bawah. Dan tak lupa saya selipkan foto kami, RSD versi Reuni, yang diambil sebelum naik panggung.
It was the most ‘extra-ordinary’ stage I’ve ever been on. Antara panggung dan penonton terdapat sebentang jalan tempat kendaraan keluar masuk tempat parkir. Jadi, selagi kami menyanyi, motor berseliweran, mobil melintas di depan hidung. Haha. But anyhow, it was fun. Selain posisi panggung yang luar biasa, tempat tunggu artisnya pun spektakuler. The coolest I’ve ever had. Ada semacam bar tempat minuman dan makanan disajikan, lengkap dengan ‘bartender’-nya. Menu yang ditawarkan antara lain: jus mangga segar, jus alpukat segar, dan roti bakar yang dibuat mendadak. Jadi, selain ada blender dan stok buah, ada juga oven di sana. Love it. Setelah punya pengalaman ini, makanan dus menjadi super-duper basi.
Finished at 22.30, kembali ke hotel, beres-beres, dan kembali ke Bandung jam 23.30. Rute kepulangan yang sama seperti dulu: Rida, saya, lalu Sita. On my way back, I know I shoulda write. But I was just too lazy, jalanan pun rasanya terlalu berkelok-kelok.
Di kepala saya tergambarlah sebuah adegan. Ada bengkel imajiner tempat saya membawa mesin kepenulisan saya untuk diservis. Lalu saya bertanya pada montir:
D: Pak, mesinnya nggak mau jalan.
M: (mengecek) Wah, akinya ini mah, Neng. Soak!
D: Gimana atuh?
M: Ya kudu diganti, Neng.
D: (mengecek kantong) Nggak bawa uang, Pak.
M: Ya tunggu aja sampe punya uang.
D: Tapi saya buru-buru, Pak. Dikejar deadline.
M: Ya didorong we.
D: Didorong? Sama siapa?
M: Ya sama Neng sendiri.
D: Bapak nggak bisa bantu?
M: Sibuk, Neng. Bapak juga ditunggu klien. Ada deadline ngebetulin sokbleker, bekleding sama kabilator.
D: Jadi, saya dorong sendiri, Pak?
M: Di sebelah sana ada turunan, Neng. Jalan sedikit dulu, siapa tahu mobilnya bisa ngegorolong sendiri.
D: (menelan ludah)
Mesin mati. Nol halaman. Panas Keenan 39 derajat. Tidak tidur sampai pukul tiga subuh.
* Jawaban: BCNY = Barudak Cianjur Nongkrong Yuk
Friday, November 16, 2007
Day 21 – Restarting The Engine
As promised, today will be the day to restart the timer.
Setelah enam hari intensif menenggelamkan diri dalam proyek lain, jujur, saya merasa kesulitan untuk lepas dari magnet Rectoverso dan kembali menceburkan diri dalam pusaran Perahu Kertas. Sungguh-sungguh sukar. Dalam kepala saya masih berseliweran suasana kerja di Studio Aquarius, melodi dan lirik lagu, dan segalanya yang mengingatkan saya pada semesta pikir dan rasa yang dihadirkan Rectoverso.
Ada rasa haru, bahagia, sekaligus kehilangan ketika hari-hari super intens itu berakhir. Namun perjalanan Rectoverso masih panjang. Dan tugas-tugas lain menanti. Salah satunya… ini.
Pagi tadi saya langsung dihadapkan dengan aneka pekerjaan ‘lain’, yakni berfoto untuk satu gerai es krim baru bernama Cold Stone, lalu menjadi pembicara talk show sekaligus juri perlombaan menulis KISAH yang diselenggarakan penerbit Esensi. Siang tadi di Indonesia Book Fair - JCC, ketiga pemenang diumumkan. Sesudah itu, barulah saya berkesempatan pulang ke Bandung. Rasanya tak sabar ingin menghirup udara di sana, kembali bernapas di rumah tanpa perlu angin pendingin. Kembali bertemu Keenan versi asli.
Sepanjang perjalanan saya pun sadar, seharusnya saya bisa mengetik. Tapi entah kenapa, rasanya mesin kepenulisan saya masih dingin, kunci baru dikontak, mesin baru diniatkan berjalan, tapi masih diam di tempat.
Dan ternyata oh ternyata, Keenan jatuh sakit hari ini. Saya pergi ke dokter malam-malam, pulang dalam keadaan mengantuk. Ya. Termasuk saat ini.
Besok, tur RSD dimulai. Pukul dua siang, saya sudah harus kembali meninggalkan kota ini. Untungnya pulang-pergi, tapi sepertinya saya baru bisa kembali pulang lewat tengah malam. Ya, nasib.
Saya menyadari penuh bahwa timer sudah kembali dihidupkan. Namun untuk berpikir sehari ke depan saja, badan dan otak ini rasanya sudah tidak sanggup. Sepenuhnya menikmati dan berserah dalam kantuk ini, lelah ini… [yawn]… dan nonproduktivitas ini.
Zero page.
PS. Setidaknya hari ini saya meniatkan untuk menunaikan sebuah janji, yakni menyelipkan foto Keenan Avalokita Kirana, yang sedang beraksi di atas sepeda roda empatnya dengan memakai aksesoris bermotor milik pamannya. Mohon doa agar Keenan kecil ini cepat sembuh! :)
Setelah enam hari intensif menenggelamkan diri dalam proyek lain, jujur, saya merasa kesulitan untuk lepas dari magnet Rectoverso dan kembali menceburkan diri dalam pusaran Perahu Kertas. Sungguh-sungguh sukar. Dalam kepala saya masih berseliweran suasana kerja di Studio Aquarius, melodi dan lirik lagu, dan segalanya yang mengingatkan saya pada semesta pikir dan rasa yang dihadirkan Rectoverso.
Ada rasa haru, bahagia, sekaligus kehilangan ketika hari-hari super intens itu berakhir. Namun perjalanan Rectoverso masih panjang. Dan tugas-tugas lain menanti. Salah satunya… ini.
Pagi tadi saya langsung dihadapkan dengan aneka pekerjaan ‘lain’, yakni berfoto untuk satu gerai es krim baru bernama Cold Stone, lalu menjadi pembicara talk show sekaligus juri perlombaan menulis KISAH yang diselenggarakan penerbit Esensi. Siang tadi di Indonesia Book Fair - JCC, ketiga pemenang diumumkan. Sesudah itu, barulah saya berkesempatan pulang ke Bandung. Rasanya tak sabar ingin menghirup udara di sana, kembali bernapas di rumah tanpa perlu angin pendingin. Kembali bertemu Keenan versi asli.
Sepanjang perjalanan saya pun sadar, seharusnya saya bisa mengetik. Tapi entah kenapa, rasanya mesin kepenulisan saya masih dingin, kunci baru dikontak, mesin baru diniatkan berjalan, tapi masih diam di tempat.
Dan ternyata oh ternyata, Keenan jatuh sakit hari ini. Saya pergi ke dokter malam-malam, pulang dalam keadaan mengantuk. Ya. Termasuk saat ini.
Besok, tur RSD dimulai. Pukul dua siang, saya sudah harus kembali meninggalkan kota ini. Untungnya pulang-pergi, tapi sepertinya saya baru bisa kembali pulang lewat tengah malam. Ya, nasib.
Saya menyadari penuh bahwa timer sudah kembali dihidupkan. Namun untuk berpikir sehari ke depan saja, badan dan otak ini rasanya sudah tidak sanggup. Sepenuhnya menikmati dan berserah dalam kantuk ini, lelah ini… [yawn]… dan nonproduktivitas ini.
Zero page.
PS. Setidaknya hari ini saya meniatkan untuk menunaikan sebuah janji, yakni menyelipkan foto Keenan Avalokita Kirana, yang sedang beraksi di atas sepeda roda empatnya dengan memakai aksesoris bermotor milik pamannya. Mohon doa agar Keenan kecil ini cepat sembuh! :)
Saturday, November 10, 2007
Pausing The Timer
Dear all,
Dengan ini saya mengumumkan berhentinya timer dari tanggal 10 - 15 November. Demi menjaga sakralitas dan fokus proyek rekaman Rectoverso (RV), I think it's fair for the RV project and also for me and everybody involved in the production, if I just paused everything else and focus on my recording session solely. Mohon doa restunya juga supaya semua berjalan lancar.
Here I am, at some warnet in Fatmawati street, just finished rehearsing with the band. If I got the chance and energy, would love to report glances of RV production in this blog as well.
Hari ini, teman-teman penerbit Truedee dari Bandung juga ikut datang ke studio, for this is gonna be our homework together -- music and book. I am excited as hell. I wish you all could feel the energy :)
All in all, thank you for your support and patience. Will get on to Perahu Kertas and 55 Days reportage after Nov 15. See y'all!
Dengan ini saya mengumumkan berhentinya timer dari tanggal 10 - 15 November. Demi menjaga sakralitas dan fokus proyek rekaman Rectoverso (RV), I think it's fair for the RV project and also for me and everybody involved in the production, if I just paused everything else and focus on my recording session solely. Mohon doa restunya juga supaya semua berjalan lancar.
Here I am, at some warnet in Fatmawati street, just finished rehearsing with the band. If I got the chance and energy, would love to report glances of RV production in this blog as well.
Hari ini, teman-teman penerbit Truedee dari Bandung juga ikut datang ke studio, for this is gonna be our homework together -- music and book. I am excited as hell. I wish you all could feel the energy :)
All in all, thank you for your support and patience. Will get on to Perahu Kertas and 55 Days reportage after Nov 15. See y'all!
Day 20 - Quick Stop At The Oasis
This is supposed to be my resting day before I immerse myself completely in Rectoverso project. So I did what necessary to soothe and pamper myself. I went to L'Ayurveda, a holistic one stop center where you can have therapy, massage, etc, etc. I had 60 minutes massage and 45 minutes Ayurvedic Shirodara where they pour warm oil on your third eye and everything. Nice.
Keenan is in town, too. So I had one day playing and pampering. What an oasis.
Tell you the truth, not so in the mood of writing today. But I know I gotta make some progress, even a little. So I finished my chapter 19. Last word count: 32,100 words. Beluuum... belum setengahnya! Heheh. Almost.
Menjawab pertanyaan dari posting sebelumnya: kapan ketemu Keenan? This weekend! :)
Well, kalau di Bandung sih ketemu terus. Tapi berhubung minggu ini memang dijadwalkan untuk produksi Rectoverso, terpaksa saya stay di Jakarta dulu sampai Jumat depan. Keenan (versi non-fiksi) diboyong ke Jakartanya hanya waktu weekend saja, karena dia juga sekolah di Bandung.
PS. I dunno how I juggle with these stuffs either. But here I am, still sane and sound (dunno for how long, heheh).
Keenan is in town, too. So I had one day playing and pampering. What an oasis.
Tell you the truth, not so in the mood of writing today. But I know I gotta make some progress, even a little. So I finished my chapter 19. Last word count: 32,100 words. Beluuum... belum setengahnya! Heheh. Almost.
Menjawab pertanyaan dari posting sebelumnya: kapan ketemu Keenan? This weekend! :)
Well, kalau di Bandung sih ketemu terus. Tapi berhubung minggu ini memang dijadwalkan untuk produksi Rectoverso, terpaksa saya stay di Jakarta dulu sampai Jumat depan. Keenan (versi non-fiksi) diboyong ke Jakartanya hanya waktu weekend saja, karena dia juga sekolah di Bandung.
PS. I dunno how I juggle with these stuffs either. But here I am, still sane and sound (dunno for how long, heheh).
Thursday, November 8, 2007
Day 19 – Catching Up, Surprisingly
Saya sendiri nggak sangka. Sekalipun baru pulang jam empat subuh tadi, bangun jam 11 dalam keadaan kurang berenergi, saya ternyata bisa menulis dan menyelesaikan chapter 18, plus mengerjakan sebagian chapter 19. Not bad at all. I’m quite proud of myself. Padahal rasanya kasus overheat itu masih belum berakhir.
Mungkin juga karena saya mengurung diri seharian, hanya keluar waktu menyeberang ke warteg depan beli makan siang, energi saya jadi cukup tertabung dengan baik. Seharian ini pun ditemani wangi aromaterapi yang baru kemarin dihadiahkan oleh Andi Rianto. Konon khasiat yang tertera di botolnya adalah untuk mengembalikan keseimbangan. Barangkali betul demikian.
And now I’m on my way back to my producer’s house, Tommy Utomo, untuk finalisasi lagi beberapa aransemen. Masih ada waktu besok sebelum saya menghentikan timer sejenak. Masih ada waktu besok untuk istirahat sebelum proyek Rectoverso resmi ‘dimasak’ di dapur rekaman.
I’m missing my Keenan actually. My living, 3-year-old Keenan. Baru besok dia diboyong ke Jakarta. Satu hari lagi mengisi baterai sebelum mulai berjuang hari Sabtu.
Mungkin juga karena saya mengurung diri seharian, hanya keluar waktu menyeberang ke warteg depan beli makan siang, energi saya jadi cukup tertabung dengan baik. Seharian ini pun ditemani wangi aromaterapi yang baru kemarin dihadiahkan oleh Andi Rianto. Konon khasiat yang tertera di botolnya adalah untuk mengembalikan keseimbangan. Barangkali betul demikian.
And now I’m on my way back to my producer’s house, Tommy Utomo, untuk finalisasi lagi beberapa aransemen. Masih ada waktu besok sebelum saya menghentikan timer sejenak. Masih ada waktu besok untuk istirahat sebelum proyek Rectoverso resmi ‘dimasak’ di dapur rekaman.
I’m missing my Keenan actually. My living, 3-year-old Keenan. Baru besok dia diboyong ke Jakarta. Satu hari lagi mengisi baterai sebelum mulai berjuang hari Sabtu.
Wednesday, November 7, 2007
Day 18 - (Almost) Another Rectoverso Break
At Andi Rianto's house. It's almost 12 AM. Dan masih harus mengerjakan guide vocal untuk tiga lagu. I'm counting my days to Rectoverso production. 3 days to go, everybody.
Tapi hari ini saya masih belum mau menyetop timer. Hari ini saya masih berusaha menulis, meski cuma dapat satu halaman. Jadi chapter 17 masih setengah jalan. "Beruntung" namanya kalau besok bab itu bisa selesai. Tapi saya masih mau berusaha.
Rasanya saya mulai mengerti mengapa jurnal ini pada akhirnya membantu saya untuk maju terus. It's like having a supporting group, even though I cannot see you guys, and this writing process is something that I have to endure all by myself, in the solitude of my head quarter, and in my inner universe.
Last word count: 30,650 words.
Tapi hari ini saya masih belum mau menyetop timer. Hari ini saya masih berusaha menulis, meski cuma dapat satu halaman. Jadi chapter 17 masih setengah jalan. "Beruntung" namanya kalau besok bab itu bisa selesai. Tapi saya masih mau berusaha.
Rasanya saya mulai mengerti mengapa jurnal ini pada akhirnya membantu saya untuk maju terus. It's like having a supporting group, even though I cannot see you guys, and this writing process is something that I have to endure all by myself, in the solitude of my head quarter, and in my inner universe.
Last word count: 30,650 words.
Tuesday, November 6, 2007
Day 17 - Overheat
Rasanya… seperti baterai kelamaan di-charge. Panas.
Ini bukan virus malas, ini kasus overheat.
Something quite monumental actually took place today. Saya dan beberapa teman menandatangani akte notaris untuk berdirinya penerbitan Truedee, yang rencananya akan dikembangkan mulai tahun 2008. Kami akan mulai menerbitkan karya-karya penulis lain di luar saya sendiri. Mohon doa teman-teman.
Maybe because of that, and also the physical exhaustion due to the hectic schedule in Jakarta, rasanya malah jadi… blank.
It was almost four when I arrived at my head quarter. Bandung was gloomy. Drizzling rain since morning. 19 degrees Celcius. Yet, my head was burning.
Sore ini saya menyusun ‘outline’ (well, it wasn’t actually an outline, just some guiding pointers, but essential for me to create a logical timeline) untuk tiga bab ke depan.
Five o’clock. I don’t think I could write any longer. Ngantuk. Set my alarm at 6, and then I dozed off.
Wake up at 6. My driver will pick me up in an hour. I stared at my blank page. I pushed my last energy.
Came out one page.
Berat abis rasanya.
Blah.
Ini bukan virus malas, ini kasus overheat.
Something quite monumental actually took place today. Saya dan beberapa teman menandatangani akte notaris untuk berdirinya penerbitan Truedee, yang rencananya akan dikembangkan mulai tahun 2008. Kami akan mulai menerbitkan karya-karya penulis lain di luar saya sendiri. Mohon doa teman-teman.
Maybe because of that, and also the physical exhaustion due to the hectic schedule in Jakarta, rasanya malah jadi… blank.
It was almost four when I arrived at my head quarter. Bandung was gloomy. Drizzling rain since morning. 19 degrees Celcius. Yet, my head was burning.
Sore ini saya menyusun ‘outline’ (well, it wasn’t actually an outline, just some guiding pointers, but essential for me to create a logical timeline) untuk tiga bab ke depan.
Five o’clock. I don’t think I could write any longer. Ngantuk. Set my alarm at 6, and then I dozed off.
Wake up at 6. My driver will pick me up in an hour. I stared at my blank page. I pushed my last energy.
Came out one page.
Berat abis rasanya.
Blah.
Monday, November 5, 2007
Day 14-16 - Not Getting Easier
Day 16 – The Unexpected Challenge
Sebagai buntut dari konser reuni RSD yang cukup sukses di Bandung bulan Oktober lalu, saya sudah pernah mendengar selentingan bahwa ada sponsor yang tertarik membawa RSD tur ke beberapa kota di Jawa Barat. Hari ini, saya mendapat kabar bahwa rencana itu akhirnya jadi. Tidak tanggung-tanggung, 12 kota. Mulai tanggal 17 November hingga 15 Desember.
Termenunglah saya. I know darn well what that means. Another heavy load of work in the middle of what has been a tightly pack schedule already. Kadang-kadang, hal seperti begini membuat saya kepingin ketawa berguling-guling di lantai. I mean… it’s such a cosmic joke! As if the Rectoverso project is not huge enough, as if this 55 Days Project is not suicidal enough, and the universe decided to give me another tour to 12 towns in less than a month.
This is crazy. But this is a fact. All of these projects are real, dan tidak ada cara untuk melewatinya selain melewatinya. Dan saya bertanya dalam hati, apakah ini semacam pelatihan three-in-one; fisik, mental, spiritual digabung jadi satu? Did I sign up for some kind of training here or something? Did I? Yo, universe?
Going back to Bandung tonight. Will be back again to Jakarta on Wednesday for Rectoverso intensive workshops. Gila, apa kabar tuh markas tercinta?
Finished my chapter 17.
Day 15 – Event Within An Event
Jadwal hari ini adalah kick-off cervix cancer awareness campaign di Four Seasons Hotel, masih di Jakarta. Thank God I have few hours in between that I can use for work, not to mention ‘on-the-road’ slot that can at least produce a half page.
Setiap ada slot waktu kosong, entah setengah jam atau lima belas menit, I tried to write. It’s like an event within an event. Finished my chapter 16.
Day 14 – Rectoverso Break part 1
Pamit tidak menulis. Hari ini dijadwalkan untuk pergi ke Jakarta dan menggarap guide vocal untuk Rectoverso yang akan mulai masuk studio rekaman seminggu lagi. Whoo-hoo! Can’t tell ya how excited I am (sekaligus juga tegang). It’s going to be a huge production, live recording, involving 34-pieces orchestra, and many musicians. And here I am, at 1 am, still at my producer’s house.
The reason why I wrote ‘part 1’ is because this break will not be the only one. Bisa jadi saya akan break satu minggu, starting Nov 10 – 15. Selain itu, untuk setiap workshop intensif yang akan dilakukan sebelum rekaman, kemungkinan besar saya juga harus mengambil cuti sejenak dari proyek 55 hari ini.
At least, for that one week recording break, I think it’s fair enough for me to pause the timer.
Friday, November 2, 2007
Day 13 – Productively Exhausted
Dengan segala daya upaya tenaga yang tersisa, saya menulis di jurnal ini. So… frikkin… tired.
Empat halaman tercapai hari ini, hasil ngantor dari jam 14.30 sampai 19.00. But again, this chapter requires longer length, so I haven’t officially finished my chapter 16. Dilanjut dengan meeting, which was sooo… darn heavy. Involving numbers, lotsa numbers, strategies, etc, etc.
By the way, ceritanya Perahu Kertas sebenarnya lagi seru banget. Gila. Dan saya resmikan semua album Mocca sebagai soundtrack dari proyek 55 hari ini. Terutama lagu Life Keeps On Turning dari album My Diary. Cocok banget untuk hampir segala suasana cerita. Begitu suasana romantis dan agak-agak sendu gitu, ganti ke Joni Mitchell, “Both Sides Now”. I’m in love with that song. One of the most beautiful songs I’ve ever heard.
Gotta sleep now. Can’t think of any better activity.
Empat halaman tercapai hari ini, hasil ngantor dari jam 14.30 sampai 19.00. But again, this chapter requires longer length, so I haven’t officially finished my chapter 16. Dilanjut dengan meeting, which was sooo… darn heavy. Involving numbers, lotsa numbers, strategies, etc, etc.
By the way, ceritanya Perahu Kertas sebenarnya lagi seru banget. Gila. Dan saya resmikan semua album Mocca sebagai soundtrack dari proyek 55 hari ini. Terutama lagu Life Keeps On Turning dari album My Diary. Cocok banget untuk hampir segala suasana cerita. Begitu suasana romantis dan agak-agak sendu gitu, ganti ke Joni Mitchell, “Both Sides Now”. I’m in love with that song. One of the most beautiful songs I’ve ever heard.
Gotta sleep now. Can’t think of any better activity.
Thursday, November 1, 2007
Day 12 – Let’s Count
Saya agak terusik dengan apa yang saya tulis kemarin. Pada saat kebosanan memuncak, kadang-kadang kita lebih mudah melihat bahwa gelas itu setengah kosong ketimbang setengah isi. Lebih mudah berpikir cenderung pesimis/negatif ketimbang optimis/positif.
Hari ini pandangan saya agak lain. Kemarin saya mengatakan: saya “baru” sampai bab 15. Hari ini saya merasa lebih sreg untuk mengatakan saya “sudah” sampai bab 15. Five chapters from now, I’m half way through. It’s not bad at all.
I also counted the amount of words I’ve come up with so far, it’s 24.800 words. One-third, everybody. Pesimis dan optimis hanya masalah persepsi, yang setiap harinya bisa berubah. But that word count is realistic. One-third. Not bad at all.
PS. Tadi malam saya menjadi “korban” Facebook, terjaga sampai setengah lima pagi. Nggak ada hasil pula. Bangun jam 10 dengan kondisi yang nggak asik. My energy is drained out. Tekad saya malam ini hanyalah posting di jurnal, dan langsung meng-klik ikon ‘turn airport off’ di laptop saya. Seriously, limiting ourselves from the cyber world, especially in this particular stage, is a very wise thing to do.
Hari ini pandangan saya agak lain. Kemarin saya mengatakan: saya “baru” sampai bab 15. Hari ini saya merasa lebih sreg untuk mengatakan saya “sudah” sampai bab 15. Five chapters from now, I’m half way through. It’s not bad at all.
I also counted the amount of words I’ve come up with so far, it’s 24.800 words. One-third, everybody. Pesimis dan optimis hanya masalah persepsi, yang setiap harinya bisa berubah. But that word count is realistic. One-third. Not bad at all.
PS. Tadi malam saya menjadi “korban” Facebook, terjaga sampai setengah lima pagi. Nggak ada hasil pula. Bangun jam 10 dengan kondisi yang nggak asik. My energy is drained out. Tekad saya malam ini hanyalah posting di jurnal, dan langsung meng-klik ikon ‘turn airport off’ di laptop saya. Seriously, limiting ourselves from the cyber world, especially in this particular stage, is a very wise thing to do.
Wednesday, October 31, 2007
Self-reminder Tips #2
7. This may be my exclusive, subjective experience, but I personally found that these things are counterproductive, distractive, and dangerous for our writing, for they may interrupt our working session, suck dry our energy, and taking up so much of our precious time. People, if you’re into serious writing where every hour counts, stay away from these poisons: FRIENDSTER, FACEBOOK, MY SPACE, MAILING LIST.
8. Seperti halnya anggur, tape, tempe, peuyeum, saya pun percaya bahwa tulisan adalah ‘makanan’ yang harus melalui proses fermentasi yang pas dan memadai untuk bisa matang. Terkadang proses fermentasi ini menjadi barang mewah saat kita dikejar deadline yang mepet. But trust me, this phase is very important. May it be a day or a week, give our writing a time to ripen. Close your manuscript and leave it untouched. Then, after a while, read it again and watch for yourself how the magic starts to happen. Yes. Your writing will reveal its true face. Most of the time, it gets uglier. But this is the true reality, and we need to face it. Justru pada saat tulisan kita menunjukkan wajah aslinya, kita punya kesempatan untuk memperbaiki apa-apa saja yang sekiranya kurang. Based on my experience, this fermentation process should be at least 5 days. Two weeks will be perfect.
9. Careful, though, the fixing process may seem endless. Each time we ferment our writing, we’ll always find some new things to fix. Jadi, biasanya saya hanya membatasi sampai tiga kali. Selepas tiga kali… just let it go. Ikhlaskan. Ini pun ujian yang cukup berat untuk para penulis, yakni: menarik garis usai. Sampai hari ini pun terkadang saya masih gatal ingin memperbaiki manuskrip Supernova, atau Filosofi Kopi. But I know, once they’ve ripened, we need to honor our writing as it is. Berhenti di satu titik usai, dan menerima karya kita apa adanya. Our flaws and imperfections may still be there, but embracing them means we embrace ourselves, including our mistakes and weaknesses. I tell ya one secret: no work is perfect. Makna kesempurnaan bagi saya bukan lagi karya tanpa cacat, melainkan penerimaan yang menyeluruh dan apa adanya.
8. Seperti halnya anggur, tape, tempe, peuyeum, saya pun percaya bahwa tulisan adalah ‘makanan’ yang harus melalui proses fermentasi yang pas dan memadai untuk bisa matang. Terkadang proses fermentasi ini menjadi barang mewah saat kita dikejar deadline yang mepet. But trust me, this phase is very important. May it be a day or a week, give our writing a time to ripen. Close your manuscript and leave it untouched. Then, after a while, read it again and watch for yourself how the magic starts to happen. Yes. Your writing will reveal its true face. Most of the time, it gets uglier. But this is the true reality, and we need to face it. Justru pada saat tulisan kita menunjukkan wajah aslinya, kita punya kesempatan untuk memperbaiki apa-apa saja yang sekiranya kurang. Based on my experience, this fermentation process should be at least 5 days. Two weeks will be perfect.
9. Careful, though, the fixing process may seem endless. Each time we ferment our writing, we’ll always find some new things to fix. Jadi, biasanya saya hanya membatasi sampai tiga kali. Selepas tiga kali… just let it go. Ikhlaskan. Ini pun ujian yang cukup berat untuk para penulis, yakni: menarik garis usai. Sampai hari ini pun terkadang saya masih gatal ingin memperbaiki manuskrip Supernova, atau Filosofi Kopi. But I know, once they’ve ripened, we need to honor our writing as it is. Berhenti di satu titik usai, dan menerima karya kita apa adanya. Our flaws and imperfections may still be there, but embracing them means we embrace ourselves, including our mistakes and weaknesses. I tell ya one secret: no work is perfect. Makna kesempurnaan bagi saya bukan lagi karya tanpa cacat, melainkan penerimaan yang menyeluruh dan apa adanya.
Day 10 & 11 - Deadlinearix
Day 10:
On the road, baby. Dari Bandung langsung menuju kantor majalah Kawanku. Ada tujuh belas naskah yang dinilai. Kita menentukan sepuluh besar, lalu juara satu sampai tiga. I would love to write special review on this matter, but later.
Dijemput jam 12.00 dan langsung menuju Muara Karang, Pluit. Talkshow di SMP-SMA Permai, until 14.30. It was pouring, mudah2an saja Jakarta tidak kembali banjir. This raining season is heavy. And of course, the traffic got heavier.
Sampai di Senayan City jam 16.30, jam 17.30 meeting setengah jam untuk acara hari Minggu besok. Langsung ke SCBD, ke pool-nya CitiTrans untuk kembali lagi ke Bandung. I took the 7 o’clock shuttle. Macet di Bekasi. Took me more almost three hours to get to Bandung. But, hey, no worries… cause I worked!
Pernahkah merasakan magisnya adegan yang sampai membuat kita, penulisnya sendiri, ikut merinding dan bergidik dan gemas? Oh, I just love it when it happens. And I had that magical moment today. Dang, I love my job.
Day 11:
01.11 PM:
Diserang virus malas yang sangat invasif. Gila. Maleeeeeeeeeesssssssssssssss… I didn’t even care of those excessive letters… males mandi… males nulis… malesss… malesss… malesss… bisa nggak sih, Kugy & Keenan & Noni & Eko & Wanda & Ami & Ical & Bimo & Pilik disuruh nulis cerita sendiri? Disusul oleh Pak Wayan & Lena & Adri & Jeroen & Luhde & Terry, dan semua orang yang terlibat pokoknya. Kabarin saya lagi kalau udah bab 35. Nanti baru saya sambung, lima bab mah cingcay lah!
Tahukah teman-teman, saya baru bab berapa? Setelah saya audit lagi, dari semua part yang saya edit doang dan re-write baru, total saya baru sampai BAB 15!!! Dan dari 15 sampai tamat nanti, tidak ada lagi bab yang cuma tinggal edit. Semuanya re-write.
Bisakah kata-kata muncul sendiri? Bisakah saya bekerja di depan komputer seperti orang mancing di pemancingan padat ikan, yang kata-katanya satu demi satu keluar sendiri di layar tanpa harus susah payah diketik?
Gila. Males. Males. MUALES… sampe MULES!
16.30:
Woke up from my nap. Dragged myself to the shower. Nope. Those words cannot write themselves. Those characters cannot write their own stories. Somebody gotta do it. And this lazy bum had signed a contract. This is the power of deadline, people. You have no choice but to honor the time, and honor the process. Dan saya harus melangkah, mau cuma setapak atau satu kilo, tapi novel ini harus diselesaikan.
17.00:
So I went to my head quarter. It was quiet. Ditemani cakue hasil beli di pinggir jalan barusan, dan secangkir teh tawar. Saya mulai bekerja. Bertarung dengan halaman kosong. Di bawah pengawasan mandor keji bernama: DEADLINE.
21.09:
My car is already outside. Saya memang sudah mencanangkan untuk bekerja di markas sampai jam 9 saja. I’ve done my four pages. But this chapter requires longer length, so I’ll continue at home.
Tema hari ini, jika disimpulkan, adalah my realization of deadline’s majestic power. Jika saja kontrak itu tak ada, tanggal itu tak ditentukan, virus malas yang menyerang tadi siang itu niscaya berlanjut berhari-hari hingga tak terhingga. I don’t need anymore proof. Tertundanya novel ini selama satu dekade merupakan bukti betapa dahsyatnya virus tersebut. Dan antibiotik yang ternyata manjur untuk menumpasnya adalah: Deadlinearix.
Even the name sounds lethal, huh?
On the road, baby. Dari Bandung langsung menuju kantor majalah Kawanku. Ada tujuh belas naskah yang dinilai. Kita menentukan sepuluh besar, lalu juara satu sampai tiga. I would love to write special review on this matter, but later.
Dijemput jam 12.00 dan langsung menuju Muara Karang, Pluit. Talkshow di SMP-SMA Permai, until 14.30. It was pouring, mudah2an saja Jakarta tidak kembali banjir. This raining season is heavy. And of course, the traffic got heavier.
Sampai di Senayan City jam 16.30, jam 17.30 meeting setengah jam untuk acara hari Minggu besok. Langsung ke SCBD, ke pool-nya CitiTrans untuk kembali lagi ke Bandung. I took the 7 o’clock shuttle. Macet di Bekasi. Took me more almost three hours to get to Bandung. But, hey, no worries… cause I worked!
Pernahkah merasakan magisnya adegan yang sampai membuat kita, penulisnya sendiri, ikut merinding dan bergidik dan gemas? Oh, I just love it when it happens. And I had that magical moment today. Dang, I love my job.
Day 11:
01.11 PM:
Diserang virus malas yang sangat invasif. Gila. Maleeeeeeeeeesssssssssssssss… I didn’t even care of those excessive letters… males mandi… males nulis… malesss… malesss… malesss… bisa nggak sih, Kugy & Keenan & Noni & Eko & Wanda & Ami & Ical & Bimo & Pilik disuruh nulis cerita sendiri? Disusul oleh Pak Wayan & Lena & Adri & Jeroen & Luhde & Terry, dan semua orang yang terlibat pokoknya. Kabarin saya lagi kalau udah bab 35. Nanti baru saya sambung, lima bab mah cingcay lah!
Tahukah teman-teman, saya baru bab berapa? Setelah saya audit lagi, dari semua part yang saya edit doang dan re-write baru, total saya baru sampai BAB 15!!! Dan dari 15 sampai tamat nanti, tidak ada lagi bab yang cuma tinggal edit. Semuanya re-write.
Bisakah kata-kata muncul sendiri? Bisakah saya bekerja di depan komputer seperti orang mancing di pemancingan padat ikan, yang kata-katanya satu demi satu keluar sendiri di layar tanpa harus susah payah diketik?
Gila. Males. Males. MUALES… sampe MULES!
16.30:
Woke up from my nap. Dragged myself to the shower. Nope. Those words cannot write themselves. Those characters cannot write their own stories. Somebody gotta do it. And this lazy bum had signed a contract. This is the power of deadline, people. You have no choice but to honor the time, and honor the process. Dan saya harus melangkah, mau cuma setapak atau satu kilo, tapi novel ini harus diselesaikan.
17.00:
So I went to my head quarter. It was quiet. Ditemani cakue hasil beli di pinggir jalan barusan, dan secangkir teh tawar. Saya mulai bekerja. Bertarung dengan halaman kosong. Di bawah pengawasan mandor keji bernama: DEADLINE.
21.09:
My car is already outside. Saya memang sudah mencanangkan untuk bekerja di markas sampai jam 9 saja. I’ve done my four pages. But this chapter requires longer length, so I’ll continue at home.
Tema hari ini, jika disimpulkan, adalah my realization of deadline’s majestic power. Jika saja kontrak itu tak ada, tanggal itu tak ditentukan, virus malas yang menyerang tadi siang itu niscaya berlanjut berhari-hari hingga tak terhingga. I don’t need anymore proof. Tertundanya novel ini selama satu dekade merupakan bukti betapa dahsyatnya virus tersebut. Dan antibiotik yang ternyata manjur untuk menumpasnya adalah: Deadlinearix.
Even the name sounds lethal, huh?
Monday, October 29, 2007
Day 9 - [yawn]
Pergi ke markas sesudah sarapan tadi pagi. It was quiet. Para tetangga sedang berkuliah rupanya. Sayangnya, siang ini ada janji. Sore ada janji lagi, rekaman demo dua lagu. So I didn't have much time to write today.
And the rain poured so heavy. Untung ada anak-anak indie (Vincent Vega & 70's Orgasm Club) yang lagi pada nongkrong di studio. There was this café at the studio, dan kita menunggu hujan reda di sana. We had fun chatting, laughing, even though we were half screaming so we could hear each other.
I’m still two pages short. But my battery is dying out. Couldn’t work any longer. Sorry.
Tomorrow, will be heading back to Jakarta. Pagi-pagi, akan menjadi juri untuk lomba cerpen Kawanku (ada yang ikutan?). Siang, talkshow di Muara Karang. Sore, meeting di Four Seasons. Then back to Bandung. Kembali menulis di Markas B sepertinya, yakni… the good ol’ Cipularang.
Lowbatt [yawn]. Nguantuk [yawn]. Teler [yawn].
Dua halaman saja hari ini. Plus, dua foto. A sneak peek to my head quarter, everybody. Enjoy.
#1: BEFORE
#2: AFTER
And the rain poured so heavy. Untung ada anak-anak indie (Vincent Vega & 70's Orgasm Club) yang lagi pada nongkrong di studio. There was this café at the studio, dan kita menunggu hujan reda di sana. We had fun chatting, laughing, even though we were half screaming so we could hear each other.
I’m still two pages short. But my battery is dying out. Couldn’t work any longer. Sorry.
Tomorrow, will be heading back to Jakarta. Pagi-pagi, akan menjadi juri untuk lomba cerpen Kawanku (ada yang ikutan?). Siang, talkshow di Muara Karang. Sore, meeting di Four Seasons. Then back to Bandung. Kembali menulis di Markas B sepertinya, yakni… the good ol’ Cipularang.
Lowbatt [yawn]. Nguantuk [yawn]. Teler [yawn].
Dua halaman saja hari ini. Plus, dua foto. A sneak peek to my head quarter, everybody. Enjoy.
#1: BEFORE
#2: AFTER
Sunday, October 28, 2007
Day 8 – The Unstoppables
Hari ini terjadwal sebagai Reuni Akbar SMA 2. I went there after lunch, dalam keadaan mengantuk, tapi tekad tetap bulat untuk berangkat. Spent two hours there, admiring the legendary, gigantic, rubber tree in the center of my highschool, met some old friends, did dozens of pictures with the unknown. Dan terakhir berfoto bersama Pak Maman, satpam sekolah yang dengan fasihnya membuat tanda ‘victory’ saat berfoto, yang barangkali dimaksudkan sebagai “dua” alias SMA 2. I was compelled to do the same. So there we were, with victorious smile and two v’s.
It was four thirty when I was back at home. Batere yang sudah mau drop mendekati minus mendadak terisi kembali, and I felt like I could do some serious writing today. So I packed up my laptop and headed to my head quarter. I was unstoppable.
Sampai di markas, beres-beres bentar dan langsung menulis. One page. And it was almost seven. I heard a knock at my door. When I opened it up, there were my neighbors. Anda, Dian, and Nurul. Mereka mau cari makan, and wondered if I would like to come along. Mereka merencanakan jalan kaki ke Simpang Dago untuk mencoba warung bakso baru yang menjual aneka bakso ‘aneh’ yakni bakso isi keju, bakso isi bunga, dll. First, I am a vegetarian. Second, even if I still eat meat, I wouldn’t dream to eat something like ‘bakso isi keju’, not to mention ‘bakso isi bunga’—I don’t think anybody should eat them, but it’s their rights and I completely respect it. Third, I am three pages short, and I’d like to be back home before ten. So I had to skip my neighbors’ offer. But you know what? Rasanya kok—asik, ya. Anak kos banget getoh. Jalan kaki, cari makan, hang out dengan anak-anak kuliahan yang beda angkatannya minimal sepuluh tahun dengan saya, and see if I could still fit in. Heheh. And you know something else? Mereka menyebutkan satu nama anak kos di sana. The name was Noni. The exact same name with one of my main characters, yang merupakan sahabat Kugy sejak kecil sekaligus tetangga di kosannya. Can you believe it? Not just this place has a car with KK’s plate, it also has a tenant called Noni. This is synchronicity part 2.
Almost three pages. I worked my ass off. Suddenly, from the left corner of the bed, came out my number one ‘enemy’… cockroach. Big, fat, cockroach. Saya langsung melesat keluar, looking for some aid. I didn’t have the guts to catch it, nor I had any weapon to kill it. My neighbor, Nurul, lent me a can of Baygon. I sprayed, and sprayed. Poor creature. But I had no better choice. Terpaksa saya melanjutkan menulis di meja luar, sambil menunggu uap Baygon mereda. Nurul assured me that the roach was dead as we spoke. And after I waited, I opened the door… came out that same roach, running like there’s no tomorrow. Man. That dude was unstoppable.
I was still one page short. Knowing that roach was now joining me outside, I had to go back in, despite the suffocating Baygon air. But I had decided to be unstoppable today, just like that roach. So I hit my iBook keyboard, on and on, until I saw the light of my fourth pages. It dawned on my screen, gradually.
It was almost ten. My work was done for today. My apology to that unstoppable roach. Yet, its spirit had inspired me.
And why oh why there are many pictures in today's posting? Semata-mata karena... kelebihan waktu, kurang kerjaan, dan kecentilan.
Saturday, October 27, 2007
Day 5-7 – The Fluctuative Flow
Day 7:
Payback time. Although I spent my day mostly on the road, I fully realized I had to get my work done. Although struggling, but I managed to accomplish my daily target.
Day 6:
Word? What word?
Enjoying my short vacation. Went to a spa, had a blissful massage.
Time seemed to fly faster than usual, and I needed to reset my priority, at least for today. Gotta be honest, hari ini ada yang lebih menarik daripada menulis. Ada yang lebih penting dari kata-kata. So… word? What word?
Day 5:
Word fiesta. From morning till afternoon, at the airport, at the lounge, on the plane, in the car… writing, writing, and writing.
It was only 1.30 PM, and I’ve already done one chapter. No, not 4 pages, but 4 and a HALF pages. Bahagia… melayang di awan… hore… tidur tenang… makan enak… target beres… BEBAS EUY!
Wednesday, October 24, 2007
Day 4 – Truf Too Soon?
Did I say that I would finish the last two pages yesterday? Well, I didn’t. Finished one page in Cipularang last night. And finally, I’ve finished another page today.
So… one chapter in three days, huh?
Blame it on the errands that I needed to do. Blame it on the cloudy sky. Blame it on the rainy afternoon that got me sooo… sleepy that I decided to take a nap instead of going to my headquarter. Blame it to the lack of sleep that I’ve suffered for days. Finally, blame it on… MOI :)
Tomorrow I’ll be heading to another island for three days. And when I arrive, another reunion fiesta will welcome me—Reuni Akbar SMA 2. Gosh.
Mungkin sudah saatnya saya mempertimbangkan untuk menyewakan kamar kos harian. Heheh. Kiddin’.
So… one chapter in three days, huh?
Blame it on the errands that I needed to do. Blame it on the cloudy sky. Blame it on the rainy afternoon that got me sooo… sleepy that I decided to take a nap instead of going to my headquarter. Blame it to the lack of sleep that I’ve suffered for days. Finally, blame it on… MOI :)
Tomorrow I’ll be heading to another island for three days. And when I arrive, another reunion fiesta will welcome me—Reuni Akbar SMA 2. Gosh.
Mungkin sudah saatnya saya mempertimbangkan untuk menyewakan kamar kos harian. Heheh. Kiddin’.
Tuesday, October 23, 2007
Day 2-3 - Busy Bee
Day 3:
Here I am, at some wi-fi cafe in PIM 2. Writing this journal. Still two pages short. Still one meeting to go. Still have one shot to finish at least one chapter. I'll probably have my chance later on tonight, in the good ol' Cipularang. Semoga. Semoga. I need that Power Ranger-Voltus Five-Megaloman and all heroic-robotic anthem. This ain't easy, guys.
Day 2:
Could there be any busier than today? Pastinya ada. Tapi pastinya juga jarang, I hardly remember having this kinda day recently. Berangkat after lunch dari Bandung, straight to Plaza Indonesia, meeting dengan perusahaan content provider untuk Perahu Kertas. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk memutuskan deadline untuk mulai beredarnya Perahu Kertas di dunia seluler. Dan keputusan akhir adalah: 1 Januari 2008. Yang artinya naskah lengkap sudah harus diserahkan pertengahan Desember.
Dari sana workshop untuk rekaman Rectoverso yang diputuskan untuk dimulai tanggal 10 November selama 5 hari (I wonder if I still be able to fulfill my quota at the time). Workshop berakhir jam 10.30 malam, dan langsung dilanjut lagi dengan meeting bersama mitra eksekutif produser/investor/sahabat. Perdebatan seru terjadi seputar harga, proyeksi penjualan, dsb. Dan meeting berakhir pada pukul 2 pagi.
Pukul 2.15 baru pulang. My mind is racing. I remember my 55 days project, and today I've worked on two pages. Both were done in Bandung before I took off to Jakarta. Empat halaman untuk menjadi satu bab, so I'm two pages short. I've had too much tea today. My body is awfully tired but my mind is still racing. No sheep to count. Just jumble of thoughts.
Here I am, at some wi-fi cafe in PIM 2. Writing this journal. Still two pages short. Still one meeting to go. Still have one shot to finish at least one chapter. I'll probably have my chance later on tonight, in the good ol' Cipularang. Semoga. Semoga. I need that Power Ranger-Voltus Five-Megaloman and all heroic-robotic anthem. This ain't easy, guys.
Day 2:
Could there be any busier than today? Pastinya ada. Tapi pastinya juga jarang, I hardly remember having this kinda day recently. Berangkat after lunch dari Bandung, straight to Plaza Indonesia, meeting dengan perusahaan content provider untuk Perahu Kertas. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk memutuskan deadline untuk mulai beredarnya Perahu Kertas di dunia seluler. Dan keputusan akhir adalah: 1 Januari 2008. Yang artinya naskah lengkap sudah harus diserahkan pertengahan Desember.
Dari sana workshop untuk rekaman Rectoverso yang diputuskan untuk dimulai tanggal 10 November selama 5 hari (I wonder if I still be able to fulfill my quota at the time). Workshop berakhir jam 10.30 malam, dan langsung dilanjut lagi dengan meeting bersama mitra eksekutif produser/investor/sahabat. Perdebatan seru terjadi seputar harga, proyeksi penjualan, dsb. Dan meeting berakhir pada pukul 2 pagi.
Pukul 2.15 baru pulang. My mind is racing. I remember my 55 days project, and today I've worked on two pages. Both were done in Bandung before I took off to Jakarta. Empat halaman untuk menjadi satu bab, so I'm two pages short. I've had too much tea today. My body is awfully tired but my mind is still racing. No sheep to count. Just jumble of thoughts.
Sunday, October 21, 2007
Day 1 - The Surplus Beginning
Bangun siang. Ke pusat sprei di Jl. Samiaji beli matress protector (I didn't plan to sleep in the headquarter today, but I just can't stand looking at a naked matress--yes, by now you probably have guessed correctly that I have an OCD tendency, masih stadium awal, dan mudah2an nggak terus berkembang). Makan siang kupat tahu di depan toko sprei. Ke Carrefour - PVJ beli kursi kerja. Incidentally bumped into my relatives, tertahan untuk nangkring dan makan sore sampai sejam. Ke markas, beres-beres bentar.
I only got... 3 hours left before my next appointment.
I got... 4 rewritten version chapters that I left a year ago. I read them all. Not as bad as the 11-years ago version, I must say. For these first four chapters, I didn't need to rewrite from zero, but they still needed a lot of work. Dan mulailah saya membedah, paragraf demi paragraf... until...
The sky was dark. My stomach was making noises. I looked at my watch. In an hour, my guests from Jakarta would arrive at my place, and there I was, masih dalam keadaan belum mandi sore, pikiran tenggelam dalam alam Kugy & Keenan alias nggak nge-tune dengan realitas, dan perut perlu diisi terlebih dahulu biar otak nggak hang.
So I got up, went back home, hit the shower, had dinner. My guests arrived and stayed till ten thirty. I opened my laptop. The urge to continue my work was so darn strong, but my body just couldn't take it. Thanks to the reunion feast I had yesterday, I feel I still need an extra good rest tonight.
The only energy I got left was to write this journal.
But, hey... membedah empat bab pada hari pertama, menurut target 40 bab dalam 55 hari, boleh dibilang cukup layak. Bahkan surplus. Tomorrow, I don't think I'll have the time to work, but I'll do my best to progress.
Jadi, empat bab hari ini sesungguhnya adalah tabungan, atau kartu truf, yang bisa dipakai jika kondisi kepepet hingga tidak bisa menulis.
Mudah2an kartu truf itu tidak keluar terlalu dini.
I only got... 3 hours left before my next appointment.
I got... 4 rewritten version chapters that I left a year ago. I read them all. Not as bad as the 11-years ago version, I must say. For these first four chapters, I didn't need to rewrite from zero, but they still needed a lot of work. Dan mulailah saya membedah, paragraf demi paragraf... until...
The sky was dark. My stomach was making noises. I looked at my watch. In an hour, my guests from Jakarta would arrive at my place, and there I was, masih dalam keadaan belum mandi sore, pikiran tenggelam dalam alam Kugy & Keenan alias nggak nge-tune dengan realitas, dan perut perlu diisi terlebih dahulu biar otak nggak hang.
So I got up, went back home, hit the shower, had dinner. My guests arrived and stayed till ten thirty. I opened my laptop. The urge to continue my work was so darn strong, but my body just couldn't take it. Thanks to the reunion feast I had yesterday, I feel I still need an extra good rest tonight.
The only energy I got left was to write this journal.
But, hey... membedah empat bab pada hari pertama, menurut target 40 bab dalam 55 hari, boleh dibilang cukup layak. Bahkan surplus. Tomorrow, I don't think I'll have the time to work, but I'll do my best to progress.
Jadi, empat bab hari ini sesungguhnya adalah tabungan, atau kartu truf, yang bisa dipakai jika kondisi kepepet hingga tidak bisa menulis.
Mudah2an kartu truf itu tidak keluar terlalu dini.
Friday, October 19, 2007
Self-reminder Tips #1
Sambil mengisi waktu sebelum pindah kerja ke markas, berikut adalah beberapa poin yang bisa saya bagi dari pengalaman sendiri, baik dari pengalaman menulis, penulis yang diedit, mengedit, juri lomba, dan mentor. Some are points that I need to remind myself constantly throughout this journey, and some are resulted out of my experience in reviewing manuscripts. Semoga bermanfaat.
Tips #1
1. To cut off excess emotion (and spare our readers’ eyes from suffering): Kurangi tanda seru, tanda baca berlebihan, titik-titik yang terlalu panjang, huruf yang dilipatgandakan untuk kesan dramatis (e.g., “aaaaaargh!”, “Iyaaaaaaaa… iyaaaaaa…”). Trust me, THREE is enough. We get it! Thank you! Tanda baca, I tell ya, is a very powerful tool. Use it wisely, otherwise we’ll weaken its meaning, thus kill our own writing.
2. You’re about to write a novel, NOT A 50 PAGES of SMS! Inserting an sms text can be cute, especially when there’s a special purpose behind it. If that’s the case, by all means, go for it. But too much of it will be… well, too much. Keep that sms style in your own cellphone. Don’t torture your readers any further, they had enough already from their daily cellular interactions.
3. We’re writers, but don’t write’em all down. Trust our readers’ ability to imagine things. And give them some inspiring and convincing description, bukan sekadar deskripsi harfiah akibat malas mikir. A person laughs, okay, but we don’t need to read the “hahahaha”. A person’s heartbeat is racing, okay, but we don’t need to read the “dag-dig-dug”. A person walks through a dark alley, fine, but we don’t need to read the “sret-sret-sret”. A phone rings, please, save the “KRING! KRING! KRING!” for a toddler’s storybook.
4. Keep the dialogue efficient. Sometimes we try to so hard to create a lively situation, we forget that universe favors efficiency. We don’t have to write each, small responses like: “Ha?”, or “APA?!”, or “Huh!”. Do it when it’s really, really essential, and when we don’t have any better way to describe the character’s state of being. All good movies or tv series are efficient with wordings, for every minute counts. Every minute has to be captivating. Blah movies are not, that’s why we usually want to go out of the theatre within the first 15 minutes, or change the channel after ten seconds. Unless it’s really necessary and it serves a certain purpose, cut all excessive responses.
5. I cannot begin to tell you, and to remind myself, how important editing is. No, bukan cuma editorial bahasa. Tapi ritme dan penataan tempo adegan demi adegan—khususnya jika kita mengerjakan cerita bersambung, or a great romance/novel. Membaca novel, apalagi yang ekstra tebal, adalah perjuangan. Bagi saya, ini adalah salah satu aspek terberat yang harus saya kerjakan. Bagaimana mengatur adegan demi adegan dalam sebuah bab hingga selalu menyisakan umpan yang membuat pembaca untuk terus melanjutkan. And that’s what I’ve tried to learn from Candy-candy, Pop Corn, Ke Gunung Lagi… yakni bagaimana umpan-umpan yang kita miliki dapat tersebar dengan tepat hingga perjalanan novel itu tidak membosankan, dan selalu ada sesuatu yang dituju. In short, we have to create an addiction. I think this also differs good movies from crappy movies. The first builds a magnetic ride that sticks our butt to the theatre’s chair, the latter builds an imaginary farm with all white and fluffy sheep for us to count to slumberland.
6. Do you like sad ending? I don’t. I know some people who are just so into sad, tragic, black endings, which is completely okay, really. Not every story in real life ends up with a happy ending. Sad, tragic, black endings are real. But I just hate it when I’ve spent so much time and energy to finish up a book, a thick one, and finally stumbled with a sad, helpless feeling at the end. It just SUCKS! I’d like to feel empowered, inspired, and satisfied at the end of my struggle. A happy ending doesn’t have to be like the typical Hollywood where they just… have to… kiss. Argh. Happy endings can be made classy and subtle. All in all, I just don’t have the heart to devastate my readers with a sad ending, especially after I’ve dragged them to finish hundreds of pages. You better not too. Well, it’s your choice at the end of the day, but please warn me before I spend my good money on your suck ending.
Tips #1
1. To cut off excess emotion (and spare our readers’ eyes from suffering): Kurangi tanda seru, tanda baca berlebihan, titik-titik yang terlalu panjang, huruf yang dilipatgandakan untuk kesan dramatis (e.g., “aaaaaargh!”, “Iyaaaaaaaa… iyaaaaaa…”). Trust me, THREE is enough. We get it! Thank you! Tanda baca, I tell ya, is a very powerful tool. Use it wisely, otherwise we’ll weaken its meaning, thus kill our own writing.
2. You’re about to write a novel, NOT A 50 PAGES of SMS! Inserting an sms text can be cute, especially when there’s a special purpose behind it. If that’s the case, by all means, go for it. But too much of it will be… well, too much. Keep that sms style in your own cellphone. Don’t torture your readers any further, they had enough already from their daily cellular interactions.
3. We’re writers, but don’t write’em all down. Trust our readers’ ability to imagine things. And give them some inspiring and convincing description, bukan sekadar deskripsi harfiah akibat malas mikir. A person laughs, okay, but we don’t need to read the “hahahaha”. A person’s heartbeat is racing, okay, but we don’t need to read the “dag-dig-dug”. A person walks through a dark alley, fine, but we don’t need to read the “sret-sret-sret”. A phone rings, please, save the “KRING! KRING! KRING!” for a toddler’s storybook.
4. Keep the dialogue efficient. Sometimes we try to so hard to create a lively situation, we forget that universe favors efficiency. We don’t have to write each, small responses like: “Ha?”, or “APA?!”, or “Huh!”. Do it when it’s really, really essential, and when we don’t have any better way to describe the character’s state of being. All good movies or tv series are efficient with wordings, for every minute counts. Every minute has to be captivating. Blah movies are not, that’s why we usually want to go out of the theatre within the first 15 minutes, or change the channel after ten seconds. Unless it’s really necessary and it serves a certain purpose, cut all excessive responses.
5. I cannot begin to tell you, and to remind myself, how important editing is. No, bukan cuma editorial bahasa. Tapi ritme dan penataan tempo adegan demi adegan—khususnya jika kita mengerjakan cerita bersambung, or a great romance/novel. Membaca novel, apalagi yang ekstra tebal, adalah perjuangan. Bagi saya, ini adalah salah satu aspek terberat yang harus saya kerjakan. Bagaimana mengatur adegan demi adegan dalam sebuah bab hingga selalu menyisakan umpan yang membuat pembaca untuk terus melanjutkan. And that’s what I’ve tried to learn from Candy-candy, Pop Corn, Ke Gunung Lagi… yakni bagaimana umpan-umpan yang kita miliki dapat tersebar dengan tepat hingga perjalanan novel itu tidak membosankan, dan selalu ada sesuatu yang dituju. In short, we have to create an addiction. I think this also differs good movies from crappy movies. The first builds a magnetic ride that sticks our butt to the theatre’s chair, the latter builds an imaginary farm with all white and fluffy sheep for us to count to slumberland.
6. Do you like sad ending? I don’t. I know some people who are just so into sad, tragic, black endings, which is completely okay, really. Not every story in real life ends up with a happy ending. Sad, tragic, black endings are real. But I just hate it when I’ve spent so much time and energy to finish up a book, a thick one, and finally stumbled with a sad, helpless feeling at the end. It just SUCKS! I’d like to feel empowered, inspired, and satisfied at the end of my struggle. A happy ending doesn’t have to be like the typical Hollywood where they just… have to… kiss. Argh. Happy endings can be made classy and subtle. All in all, I just don’t have the heart to devastate my readers with a sad ending, especially after I’ve dragged them to finish hundreds of pages. You better not too. Well, it’s your choice at the end of the day, but please warn me before I spend my good money on your suck ending.
Thursday, October 18, 2007
Tak Semudah Itu
And I’m not talking about the writing process. Bahkan untuk mengosongkan jadwal untuk sekian hari ke depan saja… sungguh tak semudah itu. This week (just like everybody else, I guess) is dedicated to halal bihalal roadshows. Beredar dari sana ke mari, ke situ ke sini: keluarga A, B, C, A+B, B+C, ke teman SMP, teman SMA, reuni geng, halal bihalal manajemen, dsb, dsb.
Hari ini babysitter saya izin sehari untuk pergi ke Jakarta mengunjungi saudaranya, so there’s no way I can leave my 3-year-old behind. Hanya sempat pergi ke "markas" untuk membayar uang sewanya sebulan ke depan. Besok, pagi hari ada meeting dengan pihak percetakan untuk proyek Rectoverso. Siangnya, majalah Intisari mau datang ke Bandung untuk wawancara. Sorenya, gladi resik reuni SMP 2 angkatan ’90 di mana saya menyanggupi menjadi seksi acara merangkap MC merangkap penyanyi merangkap penyumbang doorprize (no, not DVD player or magic jar, just free books and CDs, heheh).
Lusa, siang sampai sore reuni SMP. Sore sampai malam, reuni geng Lotex (LTX)—sekumpulan tukang makan yang kerjanya menyatroni pesta-pesta tak peduli kenal atau tidak demi makan gratis dan banyak (yeah, I used to be one of those shameless party pirates, the only girl the gang, in fact. Syarat masuk LTX cuma dua: makan banyak dan nggak tahu malu, and apparently I’m qualified). Candil (Seurieus Band, former LTX) called me up this afternoon and told me about LTX reunion, his question was: “Di mana ya tempat makan yang bisa murah dan banyak?”. 16 years, man. And we’re the same bonek as we were.
Sunday, will be the only plausible time to set the timer. But on Monday? I gotta be in Jakarta to sign the contract for “Perahu Kertas”. Tuesday, tentatively, production meeting for Rectoverso. Jadi kapan di Bandungnya, dong? No worries, I'll set my timer on Sunday anyhow. Yea. So much for 800 rb per month-room. I guess I'll be writing my stuffs mostly in Cipularang.
I wonder… can I just say no to meetings for 55 days? Can I just say no to interviews? Can I just stop this halal bihalal and reunion parade? Can I just pause my life for a while?
That remote control from the movie “Click” can be quite useful for me now.
Hari ini babysitter saya izin sehari untuk pergi ke Jakarta mengunjungi saudaranya, so there’s no way I can leave my 3-year-old behind. Hanya sempat pergi ke "markas" untuk membayar uang sewanya sebulan ke depan. Besok, pagi hari ada meeting dengan pihak percetakan untuk proyek Rectoverso. Siangnya, majalah Intisari mau datang ke Bandung untuk wawancara. Sorenya, gladi resik reuni SMP 2 angkatan ’90 di mana saya menyanggupi menjadi seksi acara merangkap MC merangkap penyanyi merangkap penyumbang doorprize (no, not DVD player or magic jar, just free books and CDs, heheh).
Lusa, siang sampai sore reuni SMP. Sore sampai malam, reuni geng Lotex (LTX)—sekumpulan tukang makan yang kerjanya menyatroni pesta-pesta tak peduli kenal atau tidak demi makan gratis dan banyak (yeah, I used to be one of those shameless party pirates, the only girl the gang, in fact. Syarat masuk LTX cuma dua: makan banyak dan nggak tahu malu, and apparently I’m qualified). Candil (Seurieus Band, former LTX) called me up this afternoon and told me about LTX reunion, his question was: “Di mana ya tempat makan yang bisa murah dan banyak?”. 16 years, man. And we’re the same bonek as we were.
Sunday, will be the only plausible time to set the timer. But on Monday? I gotta be in Jakarta to sign the contract for “Perahu Kertas”. Tuesday, tentatively, production meeting for Rectoverso. Jadi kapan di Bandungnya, dong? No worries, I'll set my timer on Sunday anyhow. Yea. So much for 800 rb per month-room. I guess I'll be writing my stuffs mostly in Cipularang.
I wonder… can I just say no to meetings for 55 days? Can I just say no to interviews? Can I just stop this halal bihalal and reunion parade? Can I just pause my life for a while?
That remote control from the movie “Click” can be quite useful for me now.
Tuesday, October 16, 2007
The Motion Picture Inside Our Head
Reading a good story is like watching a good movie. Watching a lousy movie is like reading a lousy story.
Ketika seorang penulis menyusun sebuah cerita, sesungguhnya di kepalanya sedang bergerak sebuah film. Seorang penulis mengambil seluruh peran yang ada sekaligus. Dia menjadi produser, sutradara, penulis skrip, editor, penata artistik, penata musik, termasuk menentukan siapa-siapa saja yang akan menjadi pemain. It’s not an easy job. You don’t have other people’s perspectives to freshen up your objectivity. But you also save yourself from a lot of hassle, for you don’t have to argue with anybody else except yourself.
Langkah awal yang amat penting adalah, tentukan ke mana arah film di kepala kita itu, maksud dan tujuannya, serta gaya apa yang ingin diadopsi. Film ABG, dewasa, komedi, action, thriller, horor, dsb. Lalu style apa yang ingin dipakai? Sinetron-ish (black and white—baik sekali atau jahat sekali, deskripsi cenderung lewat dialog ketimbang suasana), Korean-ish/Japanese-ish (gray characters—nobody’s too good and nobody’s too bad either, deskripsi cenderung lewat suasana ketimbang dialog), Telenovela-ish (almost like Sinetron-ish, but they wear better make-ups), India-ish (glorify the love scenes, baby!), dsb.
Kadang, apa yang kita pilih dan kita suka tidak konsisten dengan apa yang kita tulis. We didn’t do it on purpose, of course. But sometimes we got carried away with our own hard effort to convince our readers. We may also be subconsciously influenced by those soapy, overrated scenes from the sinetrons we loathe but we couldn’t help to watch. Or we simply haven’t had sharp enough senses to create a balance between direct-verbal dialogue with indirect-nonverbal description. In real life, some things are better left unspoken, silence is sometimes louder than words, and these nonverbal expressions can be so powerful once they’re successfully delivered in our story.
Saya membongkar materi lama saya, dan menyadari begitu banyak perbaikan yang harus saya lakukan. I’m pro with Korean-ish/Japanese-ish all the way, and I think that was also my intention eleven years ago when I first wrote “Kugy & Keenan”. But when I reread it now, I realize there are many incoherencies between the style I’d intend to adapt with how I actually wrote the story. Many dialogues were just too emotional, too explosive, too outspoken. Some scenes are just too India-ish (e.g., hopping on a train together and landed in each other’s arms incidentally. Gosh. I know it’s a classic, and it works like wonder for squeezing your reader’s heart, but… come on!) And, man, there were so many cliches and predictabilities.
Reviewing our characters is also a very, VERY, important step. Untuk masalah yang satu ini pun saya merasa harus banyak melakukan perbaikan. There’s a saying: human is a creature of habit. It is true. We all have unique, particular habits that signify who we are. Same thing with our characters. Saya baru menyadari kekuatan faktor kebiasaan dalam pembentukan karakter. Meski tampaknya sepele, tapi dampaknya luar biasa. Karakter kita mendadak menjadi lebih hidup, lebih believable, dan lebih… manusiawi. For instance, Kugy penyuka musik tahun ’80, lagu favoritnya Karma Chameleon, dan pola ini harus dimunculkan secara periodikal dan konsisten sepanjang cerita. Lalu mereka punya tempat langganan, satu warung nasi bernama Pemadam Kelaparan. I didn’t have it before, but adding this ‘habitual place’ again brings my characters more down to earth. Bagi saya, pemilihan dan penataan karakter harus seperti membuat gado-gado. It’s a jumble of veggies soaked in peanut sauce, tapi dalam setiap suapannya kita bisa tahu persis apa saja yang masuk ke dalam mulut kita. We can taste each different element even though they are crammed together. Just like characters crammed together in the same story, but we can tell the unique traits of each one of them.
Creating a gray character is quite tricky too. It’s so much easier to create the black and white ones. First of all, we have hundreds of references of the black and whites. Just turn on our local TV, any channel, and there you go. Just copy and paste any character in our sinetrons, you’ll have the best black and whites. No rocket science required. Karakter abu-abu membutuhkan lebih banyak pemikiran dan perenungan. You have to combine traits (some ‘bad’, some ‘good’), seperti mbok jamu yang meramu unsur pahit dan manis menjadi minuman yang cenderung pahit atau cenderung manis. You have to consider background and initial motivation of your character. In real life, kebanyakan ‘orang jahat’ adalah akibat dari kegagalan sistem, yang mengakibatkan orang harus merampok atau korupsi. Kebanyakan ‘orang kejam’ adalah akibat masa kecil yang represif, dsb. Essentially, people got bad or good out of a reason. In building gray characters, you have to take all that into consideration and able to reveal it in your story. Black and whites don’t need much of it. In black and white world, some people are born bad and good, and that’s the end of the story. We’d like to believe that, for it is an easier truth to digest, but realistically that’s not the case.
So, those are my real homework. Saya bersyukur mendapat kesempatan beberapa kali menjadi juri lomba penulisan. Believe me, switching our position from a writer to a jury can totally change our perspective. Suddenly I can capture my own mistake, my own weakness, mirrored in the stacks of manuscripts I have to read and give score to. Now I must say, I believe that one can tell a good story only from its first paragraph. Sounds scary but true. If you don’t captivate your reader from the very beginning, it is so unlikely you’ll be able to captivate them at all.
I guess I'm also trying to remind myself here about that motion picture inside my head. I gotta love watching it myself. May it be a blockbuster material or award-winning material or both... it just has to win my own heart and soul, otherwise... don't bother.
PS. My other homework is to shop for my headquarter. I know, I know, I meant to do it since days ago. But Bandung’s traffic is just… unbelievable. When will you Jakartans return home? We want our road back.
Ketika seorang penulis menyusun sebuah cerita, sesungguhnya di kepalanya sedang bergerak sebuah film. Seorang penulis mengambil seluruh peran yang ada sekaligus. Dia menjadi produser, sutradara, penulis skrip, editor, penata artistik, penata musik, termasuk menentukan siapa-siapa saja yang akan menjadi pemain. It’s not an easy job. You don’t have other people’s perspectives to freshen up your objectivity. But you also save yourself from a lot of hassle, for you don’t have to argue with anybody else except yourself.
Langkah awal yang amat penting adalah, tentukan ke mana arah film di kepala kita itu, maksud dan tujuannya, serta gaya apa yang ingin diadopsi. Film ABG, dewasa, komedi, action, thriller, horor, dsb. Lalu style apa yang ingin dipakai? Sinetron-ish (black and white—baik sekali atau jahat sekali, deskripsi cenderung lewat dialog ketimbang suasana), Korean-ish/Japanese-ish (gray characters—nobody’s too good and nobody’s too bad either, deskripsi cenderung lewat suasana ketimbang dialog), Telenovela-ish (almost like Sinetron-ish, but they wear better make-ups), India-ish (glorify the love scenes, baby!), dsb.
Kadang, apa yang kita pilih dan kita suka tidak konsisten dengan apa yang kita tulis. We didn’t do it on purpose, of course. But sometimes we got carried away with our own hard effort to convince our readers. We may also be subconsciously influenced by those soapy, overrated scenes from the sinetrons we loathe but we couldn’t help to watch. Or we simply haven’t had sharp enough senses to create a balance between direct-verbal dialogue with indirect-nonverbal description. In real life, some things are better left unspoken, silence is sometimes louder than words, and these nonverbal expressions can be so powerful once they’re successfully delivered in our story.
Saya membongkar materi lama saya, dan menyadari begitu banyak perbaikan yang harus saya lakukan. I’m pro with Korean-ish/Japanese-ish all the way, and I think that was also my intention eleven years ago when I first wrote “Kugy & Keenan”. But when I reread it now, I realize there are many incoherencies between the style I’d intend to adapt with how I actually wrote the story. Many dialogues were just too emotional, too explosive, too outspoken. Some scenes are just too India-ish (e.g., hopping on a train together and landed in each other’s arms incidentally. Gosh. I know it’s a classic, and it works like wonder for squeezing your reader’s heart, but… come on!) And, man, there were so many cliches and predictabilities.
Reviewing our characters is also a very, VERY, important step. Untuk masalah yang satu ini pun saya merasa harus banyak melakukan perbaikan. There’s a saying: human is a creature of habit. It is true. We all have unique, particular habits that signify who we are. Same thing with our characters. Saya baru menyadari kekuatan faktor kebiasaan dalam pembentukan karakter. Meski tampaknya sepele, tapi dampaknya luar biasa. Karakter kita mendadak menjadi lebih hidup, lebih believable, dan lebih… manusiawi. For instance, Kugy penyuka musik tahun ’80, lagu favoritnya Karma Chameleon, dan pola ini harus dimunculkan secara periodikal dan konsisten sepanjang cerita. Lalu mereka punya tempat langganan, satu warung nasi bernama Pemadam Kelaparan. I didn’t have it before, but adding this ‘habitual place’ again brings my characters more down to earth. Bagi saya, pemilihan dan penataan karakter harus seperti membuat gado-gado. It’s a jumble of veggies soaked in peanut sauce, tapi dalam setiap suapannya kita bisa tahu persis apa saja yang masuk ke dalam mulut kita. We can taste each different element even though they are crammed together. Just like characters crammed together in the same story, but we can tell the unique traits of each one of them.
Creating a gray character is quite tricky too. It’s so much easier to create the black and white ones. First of all, we have hundreds of references of the black and whites. Just turn on our local TV, any channel, and there you go. Just copy and paste any character in our sinetrons, you’ll have the best black and whites. No rocket science required. Karakter abu-abu membutuhkan lebih banyak pemikiran dan perenungan. You have to combine traits (some ‘bad’, some ‘good’), seperti mbok jamu yang meramu unsur pahit dan manis menjadi minuman yang cenderung pahit atau cenderung manis. You have to consider background and initial motivation of your character. In real life, kebanyakan ‘orang jahat’ adalah akibat dari kegagalan sistem, yang mengakibatkan orang harus merampok atau korupsi. Kebanyakan ‘orang kejam’ adalah akibat masa kecil yang represif, dsb. Essentially, people got bad or good out of a reason. In building gray characters, you have to take all that into consideration and able to reveal it in your story. Black and whites don’t need much of it. In black and white world, some people are born bad and good, and that’s the end of the story. We’d like to believe that, for it is an easier truth to digest, but realistically that’s not the case.
So, those are my real homework. Saya bersyukur mendapat kesempatan beberapa kali menjadi juri lomba penulisan. Believe me, switching our position from a writer to a jury can totally change our perspective. Suddenly I can capture my own mistake, my own weakness, mirrored in the stacks of manuscripts I have to read and give score to. Now I must say, I believe that one can tell a good story only from its first paragraph. Sounds scary but true. If you don’t captivate your reader from the very beginning, it is so unlikely you’ll be able to captivate them at all.
I guess I'm also trying to remind myself here about that motion picture inside my head. I gotta love watching it myself. May it be a blockbuster material or award-winning material or both... it just has to win my own heart and soul, otherwise... don't bother.
PS. My other homework is to shop for my headquarter. I know, I know, I meant to do it since days ago. But Bandung’s traffic is just… unbelievable. When will you Jakartans return home? We want our road back.
Saturday, October 13, 2007
Mystery of "Mystery"
Just like a movie, our life too is enriched with collections of soundtracks.
We all know how a song can move and inspire us limitlessly. A song, with its words, melodies, and layers of music, can pierce right through the deepest core of our soul, faster and more effective than a sharp bullet. We can remove a bullet from a wound, but a song can haunt us for a lifetime.
Dan selama yang namanya mesin waktu belum dijual di pasaran, sebuah lagu dapat menjalankan fungsi serupa, mengantarkan kita pada satu masa, faster than the speed of light (tanpa polusi lagi). Karena musik adalah pembatas halaman hidup kita.
I shall share with you all the one song that inspired me to write “Perahu Kertas” in the first place, way back in the 90’s. No. It’s not even the whole song. It’s just a chorus.
Maybe it’s all that we need is to meet in the middle of impossibilities
Standing at opposite poles, equal partners in a mystery
– “Mystery” (Indigo Girls)
Out of those 23 words—packaged in the right melody, voice, and music—came out 70.000 words. Amazing, huh?
It’s still even a mystery for me.
We all know how a song can move and inspire us limitlessly. A song, with its words, melodies, and layers of music, can pierce right through the deepest core of our soul, faster and more effective than a sharp bullet. We can remove a bullet from a wound, but a song can haunt us for a lifetime.
Dan selama yang namanya mesin waktu belum dijual di pasaran, sebuah lagu dapat menjalankan fungsi serupa, mengantarkan kita pada satu masa, faster than the speed of light (tanpa polusi lagi). Karena musik adalah pembatas halaman hidup kita.
I shall share with you all the one song that inspired me to write “Perahu Kertas” in the first place, way back in the 90’s. No. It’s not even the whole song. It’s just a chorus.
Maybe it’s all that we need is to meet in the middle of impossibilities
Standing at opposite poles, equal partners in a mystery
– “Mystery” (Indigo Girls)
Out of those 23 words—packaged in the right melody, voice, and music—came out 70.000 words. Amazing, huh?
It’s still even a mystery for me.
Friday, October 12, 2007
When Will The Timer Start?
Oh, boy. Do I want to start now! I am so ready to defeat that malicious blank page!
Reality check. Lebaran is coming less than 24 hours. No maids available. My son, Keenan, just recovered from gastro-enthritis he’d suffered for the last 4 days. My driver won’t be back working until Oct 18, which means I have to drive alone. Have I told you I hate driving? Took away so many precious ngelamun time.
I also need some basic stuffs for my new ‘office’. Let’s see: bed sheets, rugs, broom, trash bins, tissue rolls. I’d probably need some working chair. A proper one. What about stereo? You know, that micro mini hi-fi set. Every story needs a soundtrack, right? (heheh, mulai lebih nih)
So, the most realistic time to start is after Lebaran, or a day after that.
For the time being, I’ll just shop for my office needs. We’ll see if I end up with a new stereo and a sophisticated, ergonomic, working chair.
Anyhow, saya mengucapken Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Minal Aidin Wal Faidzin. Selamat makan enak. Selamat cuci piring sendiri. Selamat bertemu lagi dalam beberapa hari!
Love, peace, respect, and gaul.
Reality check. Lebaran is coming less than 24 hours. No maids available. My son, Keenan, just recovered from gastro-enthritis he’d suffered for the last 4 days. My driver won’t be back working until Oct 18, which means I have to drive alone. Have I told you I hate driving? Took away so many precious ngelamun time.
I also need some basic stuffs for my new ‘office’. Let’s see: bed sheets, rugs, broom, trash bins, tissue rolls. I’d probably need some working chair. A proper one. What about stereo? You know, that micro mini hi-fi set. Every story needs a soundtrack, right? (heheh, mulai lebih nih)
So, the most realistic time to start is after Lebaran, or a day after that.
For the time being, I’ll just shop for my office needs. We’ll see if I end up with a new stereo and a sophisticated, ergonomic, working chair.
Anyhow, saya mengucapken Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Minal Aidin Wal Faidzin. Selamat makan enak. Selamat cuci piring sendiri. Selamat bertemu lagi dalam beberapa hari!
Love, peace, respect, and gaul.
Thursday, October 11, 2007
The "KK" Synchronicity
Do you believe in synchronicity? I do.
Allow me to share some weird synchronicities related to this project. Pertama kali saya membongkar kembali file cerita “Perahu Kertas” (d/h “Kugy & Keenan") adalah malam di mana saya baru meeting soal proyek ini di Plaza Senayan siang harinya. Saat itu saya sedang di perjalanan menuju Bandung, tepatnya di Tol Cipularang. Mata saya terpaku pada laptop, dan saya begitu terhanyut membaca sehingga tidak memperhatikan sekeliling. Then guess what? Right after I finished reading, I looked up, and there was this black car right in front of mine, it was VIOS or some other similar car, not so sure, but one thing caught my eyes immediately. The plate number of that car ended with KK. File cerita “Perahu Kertas” dalam laptop saya masih diberi nama K&K. I mean, seriously, what are the chances? Sebuah mobil kecepatan tinggi di tol, yang bisa menghilang dalam hitungan detik, tiba-tiba bisa berada persis di depan saya, dengan plat nomor berbuntut KK. It was really like a message from the universe. Some said, synchronicity is served as a sign that we’re on the right path. So, of course, I was pretty delighted.
The second synchronicity happened when I started to rewrite some parts of K&K. Lagi-lagi, lokasinya di Tol Cipularang. I was checking some details of the story, dan saya terpikir untuk memasukkan detail berupa kaos group band yang sedang naik daun pada tahun ‘98-an. Lalu saya bertanya pada Marcell yang waktu itu pulang bareng ke Bandung, dan dia memberi usul: Limpbizkit. Oke. Saya juga sreg. Dan jadilah karakter saya memakai kaos Limpbizkit. Sampailah kita di pintu tol, jendela mobil dibuka untuk menukar tiket, dan Marcell berkomentar: “Lucu, deh. Penjaga tol tadi dengerin Limpbizkit.” And I was like, what? What? I did hear some rock music, but I didn’t recognize it. But he did. And it was Limpbizkit. Again, seriously, what are the chances?
The third synchronicity happened today. Hari ini saya memutuskan untuk hunting tempat kos. Ada sepuluh tempat yang saya cek, dari mulai kawasan Dipatiukur, Ciumbuleuit, Cigadung, sampai akhirnya di Tubagus Ismail. Problemnya selalu kalau bukan penuh, cuma terima mahasiswa. Tempat terakhir yang saya cek di Tubagus Ismail bahkan tidak ada penghuni sama sekali. Mungkin sudah pada mudik. Saya pun mulai lelah dan jenuh. Akhirnya saya pun memutuskan untuk pulang dan menghentikan pencarian sore itu. Mobil saya bergerak maju untuk putar balik, dan tiba-tiba di sebelah kiri jalan saya melihat mobil terparkir. Mercy Tiger dengan plat KK. Saya sempat tersenyum, merasa bahwa semesta sedang bilang sama saya: jangan putus asa. Dan ketika saya melewati mobil itu, tepat di sampingnya sebuah rumah asri bertuliskan: Terima Kost Puteri. Langsung saya berhenti.
Pintu dibukakan oleh seorang pembantu. Dia bilang, masih ada kamar kosong. Saya pun mengecek kamarnya. Well, it was pretty standard, but it was not bad. A single bed, a desk, a cupboard, and a bathroom. No hot water, no internet. But, yea, I can live without those. Cuma ada 8 orang yang kos di sana. Saya langsung tanya tempat makan terdekat, it was approximately 300-400 m away. Even if I’m too lazy to walk, my house is only 15 mins drive. Supir saya bisa mengantarkan rantangan or something. And I kinda like that idea. Mengingatkan saya pada kisah2 petani yang bekerja di ladang lalu dibawakan makanan dari rumah oleh istri atau anaknya.
But I haven’t met the owner. Sang pemilik datang tepat saat saya juga tiba di sana. Dia bertanya apakah saya kuliah, dan saya bilang: tidak. Saya kerja, freelance, penulis. Dan akhirnya mengalirlah pengakuan bahwa saya sebetulnya punya rumah, tapi saya butuh tempat untuk menulis karena dikejar deadline. And her facial expressions are just… flat. As if my situation is a very normal thing, as if she encountered the similar case every day. Thus, she said: okay, you can start to move in whenever you want. And so I went back home, thinking… wow. I have my headquarter! Dan mobil KK kembali hadir sebagai petunjuk. Now… let me ask this again, out loud: WHAT THE HECK ARE THE CHANCES?
Life, I tell ya, can be pretty amazing sometimes.
Allow me to share some weird synchronicities related to this project. Pertama kali saya membongkar kembali file cerita “Perahu Kertas” (d/h “Kugy & Keenan") adalah malam di mana saya baru meeting soal proyek ini di Plaza Senayan siang harinya. Saat itu saya sedang di perjalanan menuju Bandung, tepatnya di Tol Cipularang. Mata saya terpaku pada laptop, dan saya begitu terhanyut membaca sehingga tidak memperhatikan sekeliling. Then guess what? Right after I finished reading, I looked up, and there was this black car right in front of mine, it was VIOS or some other similar car, not so sure, but one thing caught my eyes immediately. The plate number of that car ended with KK. File cerita “Perahu Kertas” dalam laptop saya masih diberi nama K&K. I mean, seriously, what are the chances? Sebuah mobil kecepatan tinggi di tol, yang bisa menghilang dalam hitungan detik, tiba-tiba bisa berada persis di depan saya, dengan plat nomor berbuntut KK. It was really like a message from the universe. Some said, synchronicity is served as a sign that we’re on the right path. So, of course, I was pretty delighted.
The second synchronicity happened when I started to rewrite some parts of K&K. Lagi-lagi, lokasinya di Tol Cipularang. I was checking some details of the story, dan saya terpikir untuk memasukkan detail berupa kaos group band yang sedang naik daun pada tahun ‘98-an. Lalu saya bertanya pada Marcell yang waktu itu pulang bareng ke Bandung, dan dia memberi usul: Limpbizkit. Oke. Saya juga sreg. Dan jadilah karakter saya memakai kaos Limpbizkit. Sampailah kita di pintu tol, jendela mobil dibuka untuk menukar tiket, dan Marcell berkomentar: “Lucu, deh. Penjaga tol tadi dengerin Limpbizkit.” And I was like, what? What? I did hear some rock music, but I didn’t recognize it. But he did. And it was Limpbizkit. Again, seriously, what are the chances?
The third synchronicity happened today. Hari ini saya memutuskan untuk hunting tempat kos. Ada sepuluh tempat yang saya cek, dari mulai kawasan Dipatiukur, Ciumbuleuit, Cigadung, sampai akhirnya di Tubagus Ismail. Problemnya selalu kalau bukan penuh, cuma terima mahasiswa. Tempat terakhir yang saya cek di Tubagus Ismail bahkan tidak ada penghuni sama sekali. Mungkin sudah pada mudik. Saya pun mulai lelah dan jenuh. Akhirnya saya pun memutuskan untuk pulang dan menghentikan pencarian sore itu. Mobil saya bergerak maju untuk putar balik, dan tiba-tiba di sebelah kiri jalan saya melihat mobil terparkir. Mercy Tiger dengan plat KK. Saya sempat tersenyum, merasa bahwa semesta sedang bilang sama saya: jangan putus asa. Dan ketika saya melewati mobil itu, tepat di sampingnya sebuah rumah asri bertuliskan: Terima Kost Puteri. Langsung saya berhenti.
Pintu dibukakan oleh seorang pembantu. Dia bilang, masih ada kamar kosong. Saya pun mengecek kamarnya. Well, it was pretty standard, but it was not bad. A single bed, a desk, a cupboard, and a bathroom. No hot water, no internet. But, yea, I can live without those. Cuma ada 8 orang yang kos di sana. Saya langsung tanya tempat makan terdekat, it was approximately 300-400 m away. Even if I’m too lazy to walk, my house is only 15 mins drive. Supir saya bisa mengantarkan rantangan or something. And I kinda like that idea. Mengingatkan saya pada kisah2 petani yang bekerja di ladang lalu dibawakan makanan dari rumah oleh istri atau anaknya.
But I haven’t met the owner. Sang pemilik datang tepat saat saya juga tiba di sana. Dia bertanya apakah saya kuliah, dan saya bilang: tidak. Saya kerja, freelance, penulis. Dan akhirnya mengalirlah pengakuan bahwa saya sebetulnya punya rumah, tapi saya butuh tempat untuk menulis karena dikejar deadline. And her facial expressions are just… flat. As if my situation is a very normal thing, as if she encountered the similar case every day. Thus, she said: okay, you can start to move in whenever you want. And so I went back home, thinking… wow. I have my headquarter! Dan mobil KK kembali hadir sebagai petunjuk. Now… let me ask this again, out loud: WHAT THE HECK ARE THE CHANCES?
Life, I tell ya, can be pretty amazing sometimes.
Wednesday, October 10, 2007
Nasib (Calon) Anak Kos
Salah satu kendala menjadi penulis sekaligus ibu dari seorang balita adalah: time and attention management. I completely agree with Chris Baty’s concept of Novel’s Headquarter. Boleh jadi satu pojokan di kafe, atau satu meja di tempat publik apa pun, intinya kita harus membuat garis batas tegas antara hidup normal kita dan hidup kita sebagai penulis (this may imply that writers don’t have normal lives. Of course, that’s not entirely the case. But I also think it’s somewhat true to some extent). So, yeah, katakanlah kita memperlakukan misi kepenulisan ini sebagai our secret life. Seperti Renegade yang siang jadi hakim, malam jadi pahlawan pembela kebenaran. Ibarat siang jadi Yono malam jadi Yolanda.
So here’s the plan: saya merencanakan menjadi anak kos, setidaknya untuk 60 hari, sampai novel itu selesai. Of course, I will not live there for 24 hours, but I’ll be in my kos-kosan during my ‘working hours’. Therefore I can write, undisturbed, for—let’s say—morning till afternoon. Lalu sore-sore saya pulang, tidak menyentuh proyek ini lagi, dan mencurahkan perhatian penuh terhadap aspek hidup saya yang lain.
I will have an office! Yea! Never in my life I’ve had an office experience. So, what do I need for this office room? Oke. Saya butuh: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, internet, teve kabel (kalo ada), air hangat (kalo bisa), lokasi strategis dekat tempat makan.
Adik ipar saya masih kuliah, di UNPAR. Yeah. Mantan daerah kekuasaan. Like it. Dia membantu saya cari info kos-kosan. I gave him the specs. He came back with one number, katanya tempat ini memenuhi seluruh persyaratan di atas. So I dialled the number.
+ Selamat siang, Pak. Saya mau tanya, masih ada kamar kos yang kosong di sana?
* Boleh tahu adik kuliah di mana?
+ Sudah lulus, Pak. Saya butuh tempat kos untuk nulis buku…
* Maaf, ya. Tapi saya dan istri sudah berkomitmen hanya menerima yang masih mahasiswa.
+ Oh, gitu.
Dapat satu lagi kandidat tempat kos. Masih di daerah Ciumbuleuit. This time I will not say about my ex-mahasiswa status, or about my writing project.
+ Selamat siang, Mbak. Di sana, masih ada kamar kos yang kosong?
* Sebetulnya ada satu. Tapi sudah di-DP orang.
Sigh. But, cheer up, Dewi. There are dozen hundreds of kos-kosan out there. Ones that don’t care about me being the real mahasiswa or undercover mahasiswa. Ones that got some room available.
I got back to my brother in-law, and this time I downgrade my specs: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, ada warteg dalam radius 1 km. That’s it. That’s all I need.
The search continues…
So here’s the plan: saya merencanakan menjadi anak kos, setidaknya untuk 60 hari, sampai novel itu selesai. Of course, I will not live there for 24 hours, but I’ll be in my kos-kosan during my ‘working hours’. Therefore I can write, undisturbed, for—let’s say—morning till afternoon. Lalu sore-sore saya pulang, tidak menyentuh proyek ini lagi, dan mencurahkan perhatian penuh terhadap aspek hidup saya yang lain.
I will have an office! Yea! Never in my life I’ve had an office experience. So, what do I need for this office room? Oke. Saya butuh: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, internet, teve kabel (kalo ada), air hangat (kalo bisa), lokasi strategis dekat tempat makan.
Adik ipar saya masih kuliah, di UNPAR. Yeah. Mantan daerah kekuasaan. Like it. Dia membantu saya cari info kos-kosan. I gave him the specs. He came back with one number, katanya tempat ini memenuhi seluruh persyaratan di atas. So I dialled the number.
+ Selamat siang, Pak. Saya mau tanya, masih ada kamar kos yang kosong di sana?
* Boleh tahu adik kuliah di mana?
+ Sudah lulus, Pak. Saya butuh tempat kos untuk nulis buku…
* Maaf, ya. Tapi saya dan istri sudah berkomitmen hanya menerima yang masih mahasiswa.
+ Oh, gitu.
Dapat satu lagi kandidat tempat kos. Masih di daerah Ciumbuleuit. This time I will not say about my ex-mahasiswa status, or about my writing project.
+ Selamat siang, Mbak. Di sana, masih ada kamar kos yang kosong?
* Sebetulnya ada satu. Tapi sudah di-DP orang.
Sigh. But, cheer up, Dewi. There are dozen hundreds of kos-kosan out there. Ones that don’t care about me being the real mahasiswa or undercover mahasiswa. Ones that got some room available.
I got back to my brother in-law, and this time I downgrade my specs: kamar mandi di dalam, tempat tidur, meja belajar, ada warteg dalam radius 1 km. That’s it. That’s all I need.
The search continues…
Tuesday, October 9, 2007
An Open Invitation
I’m about to do something that was unthinkable for me before.
Never in my life I’ve thought of writing a diaryish blog. Diaryish blog for me is like, well, how it exactly sounds: diarrhea-ish. Dan blog seperti itulah yang membanjiri rimba cyber tak bertepi ini. Not everybody has the most interesting thing to say, mostly they just don’t. Sorry. I don’t claim myself to be interesting as well, and that is why I’ve never had any of those diaryish blogs. Plus, they require time luxury, which I apparently don’t have.
Kebanyakan diaryish blog adalah perwujudan dari sindrom diare kata-kata. Encer. Kurang makna. Kurang guna. Bau. Cuma bikin sakit perut. But I am not here to entertain anybody. I am not here to amuse anyone’s mind. I am here to challenge myself. In fact, this is a suicidal project. And I do long to die. A death that shall result in rebirth. Born anew.
The old Dewi believes that a good novel should take years to produce. The old Dewi believes that she’s a slow writer. The old Dewi believes that an ideal time span for a book production is one and a half year, two years at max. Well, that old Dewi needs to die.
At this point, you probably wonder what that fuss is all about. Fair enough. Let me share with you the story behind this invitation:
Ada beberapa monumen penulisan yang begitu menggugah dan berperan besar dalam proses saya menjadi seorang penulis. Salah satunya adalah membaca cerita bersambung di majalah HAI berjudul “Ke Gunung Lagi” karya Katyusha. Saya masih SD saat itu. Segala sesuatu yang dihadirkan lewat cerbung itu memikat saya. Cerita cinta yang riil, apik, penataan emosi yang pas dan tidak berlebihan, serta format bersambung yang membuat saya penasaran, tenggelam, kecanduan, dan ingin segera baca lagi, dan lagi.
Format bersambung itu, sekaligus mutu dari cerita itu sendiri, membuat tokoh-tokoh dalam cerbung Katyusha begitu hidup, dan membuat saya memiliki jalinan personal dengan mereka. Seolah mereka ada dalam hidup saya, dan kami saling mengenal. Dan demikianlah seharusnya dampak yang dihasilkan oleh sebuah cerita yang bagus dan berhasil.
Monumen serupa saya dapatkan lagi dalam beberapa komik Jepang yang saya baca, antara lain: Candy-candy, Topeng Kaca, dan Pop Corn. Lagi-lagi, format bersambung. Saya ingat bagaimana saya lupa makan, lupa bersosialisasi, lupa belajar, demi menyelesaikan halaman per halaman, menyambar buku demi buku seperti orang sakaw. Saya ingat bagaimana saya menangis terisak-isak ketika membaca Candy-candy buku ke-7, dan bagaimana saya termenung lama berhari-hari ketika tokoh pendaki gunung di Pop Corn, Okita Naritoshi, mati dalam pendakiannya.
Dan saya menyadari satu hal, saya belum menemukan lagi format cerita bersambung yang mampu memikat saya begitu dalam. Mungkin karena tren majalah sekarang sudah berubah. Tapi saya berpikir, daripada menunggu orang lain menulis, kenapa tidak saya membuat sendiri saja?
Saya memulai cerita bersambung ini sejak tahun 1996. Tanpa target apa-apa selain memikat diri sendiri. Memenuhi rasa haus saya akan cerita bersambung yang mampu menjerat dan mengikat pembacanya. Setelah dua tahun menulis, karya itu pun terbengkalai dengan kondisi 80% jadi. Bensin saya habis. Meski saya sudah tahu bagaimana cerita itu akan berakhir. Meski saya tahu, dan juga orang-orang yang pernah membacanya, bahwa ini adalah salah satu cerita cinta terindah yang pernah saya tulis.
Sebelas tahun cerita ini menggantungi rahim benak saya seperti bayi tua di dalam perut. Saya berutang kehidupan pada bayi tua ini, yang karena satu dan lain hal, tak pernah merasakan hidup di alam realitas, melainkan dikurung di alam fiksi dalam keadaan tiga perempat jadi.
Sebelas tahun berlalu, dan akhirnya saya menemukan celah baru. Bensin baru. Sebuah tawaran datang pada saya dari satu perusahaan content provider. Mereka menawarkan agar buku-buku saya dibuat dalam versi WAP, yang kemudian bisa di-download lewat ponsel. Mereka sudah pernah mencoba dengan karya Kho Ping Hoo, dan hasilnya cukup memuaskan. Dalam meeting di Spice Garden – Plaza Senayan siang itu, mendadak bayi tua dalam rahim benak saya menendang sekali lagi, setelah entah berapa kali ia menendang-nendang tanpa hasil. Saya lalu menawarkan pada mereka, justru bukan buku saya yang sudah pernah dipublikasi, melainkan buku yang BELUM pernah dipublikasi. Sebuah cerita dengan format bersambung versi abad 21. Tidak lagi di majalah, melainkan di layar ponsel.
Mereka menyukai ide itu. Saya pun demikian. Filosofi Kopi dan seri Supernova hanya tinggal memanjangkan sayap saja jika dikonversi ke dalam versi digital, tapi bagi cerita yang satu ini, itu adalah kelahiran.
Beberapa hari kemudian, mereka mengirimkan draft kontrak, dengan catatan tambahan: sudah ada beberapa perusahaan telekomunikasi yang berminat. Saya pun makin tersadar, proyek ini makin sungguhan.
Maka pergilah saya mengunjungi cerita yang sudah sebelas tahun mati suri. Dulu judulnya “Kugy & Keenan”, di tengah jalan saya mengubahnya menjadi “Perahu Kertas”. Saya tidak tahu dia akan berakhir dengan judul apa. Namun saya bertekad untuk menyelesaikannya. Saya bertekad untuk menjemputnya dari alam fiksi dan membawanya ke alam realitas dalam keadaan utuh dan sehat.
Saya tahu proyek penjemputan kali ini tidak mudah. I mean, admit it, your 11-years-old manuscript will not be pretty. It will be damn ugly. You’ll be rolling down the floor laughing at your metaphors, your choice of words, your dialogues. Blah. Blah. Blah. Yuck. Yuck. Yuck.
But I tell you what I have. I have a good story. A lively plot. Believable and lovable characters. I believe I have all the right ingredients. They just need a whole new kitchen. And they have my faith—a hundred and ten percent. Right under those piles of stupid metaphors, ugly wordings, corny scenes, there lies my most precious gem. I just have to dig harder. Or, in a more realistic languange: I just have to rewrite from zero.
I tell you what else I have with me. I have an e-book in PDF format, a gift from a dear friend who’s also struggling to write his first book. This e-book is written by Steve Manning, a writing coach, who created a ‘machine’ that shall enable us to write ANYTHING in 14 days. I also have a book that just arrived from Amazon.com, written by Chris Baty, founder of National Novel Writing Month. It was a guide to writing a novel in 30 days. I read both Manning’s and Baty’s works. I also know real, live people who can actually write quite fast. 55,000 words in 30 days are plausible. 35 chapters in 14 days are plausible. I must say, with all my experience as a published writer, both methods are possible. Those methods may not help us to create the best story in history, but they help us to get something. Bagus atau tidak sebuah cerita, akan selalu kembali kepada bahan mentah dan kepiawaian sang penulis meramu. The only remaining question is, will I dare to try? Will I dare to make it happen?
I’ve written four books now. Three novels and an anthology. Pengalaman menulis buku adalah pengalaman yang amat nyata bagi saya. I know all the aches of writing, from soul ache to back ache. I also know the bliss and ecstasy of writing, the power of creating something out of nothing, the unequivocal feeling of giving a creative birth. But 30 days, or even 60 days, or even any time limit below four months, is a whole different deal. In my heart, I refuse to do any of my work in such a short time constraint. I just don’t think it’s a ‘right’ thing to do.
So, I tell you my last and best secret weapon: a deadline. Not only I’m willing to try to finish it under 60 days, but I’m willing to make this process an open kitchen to everybody. I will not be the only one who set up and count the days to deadline, but you all may have a share in that process.
Isn’t it a perfect suicide? Nope. It is PURRRFECT. This is not just a deadline, this is a SO-DEADline. And doesn’t one need to die first to cross the deadman’s realm? For such a special tour, I cannot allow this book to travel alone. It shall be accompanied by a journal. A journal of faith and fate.
You shall see how I fumble, fail, and frustrate. You may also see how I thrive, excel, and succeed. For you gossipheads, this journal may be disappointing. It will not reveal much about my life’s drama, but it will be a close-up tour to a creative journey. You decide which one is more intimate. Heheh.
Jika dibukukan, cerita bersambung ini akan menjadi roman. Novel yang panjang. Lebih panjang dari Supernova. So, I’m not writing 50.000 words, I’ll be at least writing 70.000 or more. Dan satuan yang akan saya lebih sering pakai adalah jumlah halaman. Satu bab akan terdiri dari empat halaman, dalam format spasi satu dan font ukuran 10. Dalam 55 hari, saya akan menulis sekurangnya 40 bab. Saya akan melaporkan setiap perkembangan yang terjadi dalam 55 hari sejak proyek ini resmi dimulai.
Ada dua pertanyaan. Kenapa 55 hari? Dan kapan proyek ini resmi menghitung hari? Dalam buku Angel Numbers karya Doreen Virtue, 55 berarti: transformasi, metamorfosa. Bagi saya, ungkapan itu tepat untuk proyek ini. 55 hari juga menjadi jumlah yang masuk akal untuk kuota kata yang harus saya penuhi.
Proyek ini akan resmi dimulai saat saya menemukan apa yang disebut Chris Baty sebagai “Novel’s Headquarter”. Satu tempat, bukan di rumah, yang menjadi sasana bagi saya bertarung melawan halaman kosong. Dan memang demikianlah esensi pekerjaan menulis ini, sungguh. Ketika kita menyeberangkan ide kita dari alam fiksi menuju alam realitas, setiap kata yang kita produksi menjadi balok demi balok dari jembatan yang kita seberangi. Penyeberangan dari halaman kosong menuju halaman bercerita. By the time I find my novel’s headquarter, the timer starts.
One notable thing though, this WAP-book deal may happen, or may not happen. This book may be out there physically, or may not. We never know. But I will pay these eleven years debt, and I will get my story across from the fiction realm to… your realm. Our realm.
This journal, however, shall cover the pre-production period and perhaps the post-production period as well (if I don’t suddenly get lazy). Since this is a diaryish journal, and it doesn’t bend to anybody else’s rule but my own, I shall allow myself to write freely according to my mind’s nature, which is bilingual. Well, trilingual, as you shall see some of my Sundanese words pop up occasionaly.
A warning: this journal may be the most boring blog you’ll ever encounter. It may be the most nonsense, useless, and the mother of all diarrheaish blogs out there. And guess what? I DON’T CARE. Not here to entertain anybody, not here to amuse anybody. Heck, most probably we suffer together in this journey. But I welcome anybody who would like to observe, witness, either silently or not so silently. This is a true naked kitchen.
Welcome.
~ D ~
Never in my life I’ve thought of writing a diaryish blog. Diaryish blog for me is like, well, how it exactly sounds: diarrhea-ish. Dan blog seperti itulah yang membanjiri rimba cyber tak bertepi ini. Not everybody has the most interesting thing to say, mostly they just don’t. Sorry. I don’t claim myself to be interesting as well, and that is why I’ve never had any of those diaryish blogs. Plus, they require time luxury, which I apparently don’t have.
Kebanyakan diaryish blog adalah perwujudan dari sindrom diare kata-kata. Encer. Kurang makna. Kurang guna. Bau. Cuma bikin sakit perut. But I am not here to entertain anybody. I am not here to amuse anyone’s mind. I am here to challenge myself. In fact, this is a suicidal project. And I do long to die. A death that shall result in rebirth. Born anew.
The old Dewi believes that a good novel should take years to produce. The old Dewi believes that she’s a slow writer. The old Dewi believes that an ideal time span for a book production is one and a half year, two years at max. Well, that old Dewi needs to die.
At this point, you probably wonder what that fuss is all about. Fair enough. Let me share with you the story behind this invitation:
Ada beberapa monumen penulisan yang begitu menggugah dan berperan besar dalam proses saya menjadi seorang penulis. Salah satunya adalah membaca cerita bersambung di majalah HAI berjudul “Ke Gunung Lagi” karya Katyusha. Saya masih SD saat itu. Segala sesuatu yang dihadirkan lewat cerbung itu memikat saya. Cerita cinta yang riil, apik, penataan emosi yang pas dan tidak berlebihan, serta format bersambung yang membuat saya penasaran, tenggelam, kecanduan, dan ingin segera baca lagi, dan lagi.
Format bersambung itu, sekaligus mutu dari cerita itu sendiri, membuat tokoh-tokoh dalam cerbung Katyusha begitu hidup, dan membuat saya memiliki jalinan personal dengan mereka. Seolah mereka ada dalam hidup saya, dan kami saling mengenal. Dan demikianlah seharusnya dampak yang dihasilkan oleh sebuah cerita yang bagus dan berhasil.
Monumen serupa saya dapatkan lagi dalam beberapa komik Jepang yang saya baca, antara lain: Candy-candy, Topeng Kaca, dan Pop Corn. Lagi-lagi, format bersambung. Saya ingat bagaimana saya lupa makan, lupa bersosialisasi, lupa belajar, demi menyelesaikan halaman per halaman, menyambar buku demi buku seperti orang sakaw. Saya ingat bagaimana saya menangis terisak-isak ketika membaca Candy-candy buku ke-7, dan bagaimana saya termenung lama berhari-hari ketika tokoh pendaki gunung di Pop Corn, Okita Naritoshi, mati dalam pendakiannya.
Dan saya menyadari satu hal, saya belum menemukan lagi format cerita bersambung yang mampu memikat saya begitu dalam. Mungkin karena tren majalah sekarang sudah berubah. Tapi saya berpikir, daripada menunggu orang lain menulis, kenapa tidak saya membuat sendiri saja?
Saya memulai cerita bersambung ini sejak tahun 1996. Tanpa target apa-apa selain memikat diri sendiri. Memenuhi rasa haus saya akan cerita bersambung yang mampu menjerat dan mengikat pembacanya. Setelah dua tahun menulis, karya itu pun terbengkalai dengan kondisi 80% jadi. Bensin saya habis. Meski saya sudah tahu bagaimana cerita itu akan berakhir. Meski saya tahu, dan juga orang-orang yang pernah membacanya, bahwa ini adalah salah satu cerita cinta terindah yang pernah saya tulis.
Sebelas tahun cerita ini menggantungi rahim benak saya seperti bayi tua di dalam perut. Saya berutang kehidupan pada bayi tua ini, yang karena satu dan lain hal, tak pernah merasakan hidup di alam realitas, melainkan dikurung di alam fiksi dalam keadaan tiga perempat jadi.
Sebelas tahun berlalu, dan akhirnya saya menemukan celah baru. Bensin baru. Sebuah tawaran datang pada saya dari satu perusahaan content provider. Mereka menawarkan agar buku-buku saya dibuat dalam versi WAP, yang kemudian bisa di-download lewat ponsel. Mereka sudah pernah mencoba dengan karya Kho Ping Hoo, dan hasilnya cukup memuaskan. Dalam meeting di Spice Garden – Plaza Senayan siang itu, mendadak bayi tua dalam rahim benak saya menendang sekali lagi, setelah entah berapa kali ia menendang-nendang tanpa hasil. Saya lalu menawarkan pada mereka, justru bukan buku saya yang sudah pernah dipublikasi, melainkan buku yang BELUM pernah dipublikasi. Sebuah cerita dengan format bersambung versi abad 21. Tidak lagi di majalah, melainkan di layar ponsel.
Mereka menyukai ide itu. Saya pun demikian. Filosofi Kopi dan seri Supernova hanya tinggal memanjangkan sayap saja jika dikonversi ke dalam versi digital, tapi bagi cerita yang satu ini, itu adalah kelahiran.
Beberapa hari kemudian, mereka mengirimkan draft kontrak, dengan catatan tambahan: sudah ada beberapa perusahaan telekomunikasi yang berminat. Saya pun makin tersadar, proyek ini makin sungguhan.
Maka pergilah saya mengunjungi cerita yang sudah sebelas tahun mati suri. Dulu judulnya “Kugy & Keenan”, di tengah jalan saya mengubahnya menjadi “Perahu Kertas”. Saya tidak tahu dia akan berakhir dengan judul apa. Namun saya bertekad untuk menyelesaikannya. Saya bertekad untuk menjemputnya dari alam fiksi dan membawanya ke alam realitas dalam keadaan utuh dan sehat.
Saya tahu proyek penjemputan kali ini tidak mudah. I mean, admit it, your 11-years-old manuscript will not be pretty. It will be damn ugly. You’ll be rolling down the floor laughing at your metaphors, your choice of words, your dialogues. Blah. Blah. Blah. Yuck. Yuck. Yuck.
But I tell you what I have. I have a good story. A lively plot. Believable and lovable characters. I believe I have all the right ingredients. They just need a whole new kitchen. And they have my faith—a hundred and ten percent. Right under those piles of stupid metaphors, ugly wordings, corny scenes, there lies my most precious gem. I just have to dig harder. Or, in a more realistic languange: I just have to rewrite from zero.
I tell you what else I have with me. I have an e-book in PDF format, a gift from a dear friend who’s also struggling to write his first book. This e-book is written by Steve Manning, a writing coach, who created a ‘machine’ that shall enable us to write ANYTHING in 14 days. I also have a book that just arrived from Amazon.com, written by Chris Baty, founder of National Novel Writing Month. It was a guide to writing a novel in 30 days. I read both Manning’s and Baty’s works. I also know real, live people who can actually write quite fast. 55,000 words in 30 days are plausible. 35 chapters in 14 days are plausible. I must say, with all my experience as a published writer, both methods are possible. Those methods may not help us to create the best story in history, but they help us to get something. Bagus atau tidak sebuah cerita, akan selalu kembali kepada bahan mentah dan kepiawaian sang penulis meramu. The only remaining question is, will I dare to try? Will I dare to make it happen?
I’ve written four books now. Three novels and an anthology. Pengalaman menulis buku adalah pengalaman yang amat nyata bagi saya. I know all the aches of writing, from soul ache to back ache. I also know the bliss and ecstasy of writing, the power of creating something out of nothing, the unequivocal feeling of giving a creative birth. But 30 days, or even 60 days, or even any time limit below four months, is a whole different deal. In my heart, I refuse to do any of my work in such a short time constraint. I just don’t think it’s a ‘right’ thing to do.
So, I tell you my last and best secret weapon: a deadline. Not only I’m willing to try to finish it under 60 days, but I’m willing to make this process an open kitchen to everybody. I will not be the only one who set up and count the days to deadline, but you all may have a share in that process.
Isn’t it a perfect suicide? Nope. It is PURRRFECT. This is not just a deadline, this is a SO-DEADline. And doesn’t one need to die first to cross the deadman’s realm? For such a special tour, I cannot allow this book to travel alone. It shall be accompanied by a journal. A journal of faith and fate.
You shall see how I fumble, fail, and frustrate. You may also see how I thrive, excel, and succeed. For you gossipheads, this journal may be disappointing. It will not reveal much about my life’s drama, but it will be a close-up tour to a creative journey. You decide which one is more intimate. Heheh.
Jika dibukukan, cerita bersambung ini akan menjadi roman. Novel yang panjang. Lebih panjang dari Supernova. So, I’m not writing 50.000 words, I’ll be at least writing 70.000 or more. Dan satuan yang akan saya lebih sering pakai adalah jumlah halaman. Satu bab akan terdiri dari empat halaman, dalam format spasi satu dan font ukuran 10. Dalam 55 hari, saya akan menulis sekurangnya 40 bab. Saya akan melaporkan setiap perkembangan yang terjadi dalam 55 hari sejak proyek ini resmi dimulai.
Ada dua pertanyaan. Kenapa 55 hari? Dan kapan proyek ini resmi menghitung hari? Dalam buku Angel Numbers karya Doreen Virtue, 55 berarti: transformasi, metamorfosa. Bagi saya, ungkapan itu tepat untuk proyek ini. 55 hari juga menjadi jumlah yang masuk akal untuk kuota kata yang harus saya penuhi.
Proyek ini akan resmi dimulai saat saya menemukan apa yang disebut Chris Baty sebagai “Novel’s Headquarter”. Satu tempat, bukan di rumah, yang menjadi sasana bagi saya bertarung melawan halaman kosong. Dan memang demikianlah esensi pekerjaan menulis ini, sungguh. Ketika kita menyeberangkan ide kita dari alam fiksi menuju alam realitas, setiap kata yang kita produksi menjadi balok demi balok dari jembatan yang kita seberangi. Penyeberangan dari halaman kosong menuju halaman bercerita. By the time I find my novel’s headquarter, the timer starts.
One notable thing though, this WAP-book deal may happen, or may not happen. This book may be out there physically, or may not. We never know. But I will pay these eleven years debt, and I will get my story across from the fiction realm to… your realm. Our realm.
This journal, however, shall cover the pre-production period and perhaps the post-production period as well (if I don’t suddenly get lazy). Since this is a diaryish journal, and it doesn’t bend to anybody else’s rule but my own, I shall allow myself to write freely according to my mind’s nature, which is bilingual. Well, trilingual, as you shall see some of my Sundanese words pop up occasionaly.
A warning: this journal may be the most boring blog you’ll ever encounter. It may be the most nonsense, useless, and the mother of all diarrheaish blogs out there. And guess what? I DON’T CARE. Not here to entertain anybody, not here to amuse anybody. Heck, most probably we suffer together in this journey. But I welcome anybody who would like to observe, witness, either silently or not so silently. This is a true naked kitchen.
Welcome.
~ D ~
Subscribe to:
Posts (Atom)