Tuesday, November 20, 2007

Day 23-25 - The Mid Crisis


Day 25 – The Mid Crisis


A friend of mine told me, after those intense days I had with Rectoverso, I do deserve a few days break. So far, his words were proven to be true. No matter how I pushed my system, no words poured out. I just couldn’t bring myself to write.

But as the days go by, I start to worry. Will I write? Of course I will. Will I finish this project on time? I dunno, but heck, I’ll make sure I will. When I will I start writing again then? I dunno. I totally dunno. One of these days I hope.

Hari ini ada shooting untuk acara internal PT Djarum. Kembali ke Jakarta. Dengan rangkaian kegiatan yang bertubi-tubi ini, I’m still very tired. Rasanya ingin unplug dari dunia persilatan ini sejenak. Unplug—dalam arti melepaskan pikiran dan segala faktor mental dari badan, lalu membiarkan si badan beristirahat total. Ada nama singkat untuk itu: mati suri. Saya sering berkhayal andaikan mati suri itu bisa diprogram. Datang ke sebuah institusi lalu bilang, “Pak/Bu, saya mau ambil paket mati suri 3 hari 2 malam. Single bed saja, kamar standard.”

Kini jam menunjukkan pukul 12 siang, perut baru diisi gado-gado, semalam kurang tidur, jadi sekarang ngantuknya minta ampun. I’m sitting on a very comfy bed, and, oh boy, do I want to doze off and leave the world behind. But I’m wearing this heavy make up on my face and I don’t want to smear this clean sheet.

Lagu “Home” Michael Buble lewat di kepala. No. I wasn’t exactly in Paris or Rome. To be exact, I was in Jawa Barat area. The name “Cianjur” or “Garut” sounds more relevant, okay. And here I am in Jakarta, feeling the same way like Buble. Maybe surrounded by a million people, I still feel all alone, I just wanna go home. I miss you, you know. I feel like I’m living someone else’s life. Another aeroplane, another sunny place, I’m lucky I know, but I just wanna go home. Let me go home. I’m just too far from where you are. I wanna come home.

Saya membaca di buku Chris Baty bahwa kebanyakan peserta Nanowrimo (gerakan nasional menulis novel dalam sebulan yang diprakarsainya) mengalami grafik persis seperti yang saya alami sekarang: awal yang cemerlang, masa pertengahan yang berat dan penuh krisis, dan pada akhirnya semangat sekaligus wisdom dari dua fase itu bertemu dalam fase terakhir yakni penyelesaian novel. I’m not trying to make excuses for myself (well, maybe I am, a bit), but here I am, right in the middle process. And as you’ve witnessed, I’ve been rambling from mati suri to Michael Buble, just to say this point: I’m in a crisis. I’m in a deep shit and kinda enjoying it.

I wanna go home.


Day 24 – Cheap Trick

Beberapa sahabat saya dari Jakarta talk show di Bandung hari ini, dan saya bergabung menjadi tim hore mereka, alias penggembira, alias groupie. Malamnya menemani sahabat saya makan di Paris Van Java sebelum dia kembali ke Jakarta.

Keenan sudah membaik, dan demamnya sudah hilang.

Hari ini saya pakai baju biru dan putih, matching dengan sepatu biru putih, tas putih, jam putih. Call me Miss Matching of the year.

Tadi sore saya ke bank, melaksanakan transfer untuk biaya produksi Rectoverso.

Malam ini saya kekenyangan. Tahu telor yang tadi saya makan rasanya di ujung tenggorokan. I couldn’t eat too much egg anymore. Blah.

Hari ini tidak hujan seharian.

Malam sangat panas, sampai harus menyalakan AC.

— Okay, by now you probably wonder, why am I torturing you with those unelemental, unessential, unimportant details? And by now, you probably have guessed that I did all those on purpose, because… YEP! You got it! I STILL HAVEN’T WRITTEN ANYTHING YET! It’s another zero page day, everybody! —


Day 23 – Taking Care Of The Real Things

Selain kondisi Keenan yang membutuhkan perhatian penuh, juga kondisi saya yang tidak terlalu fit akibat kurang tidur, rasanya hari ini saya harus kembali menerima kenyataan bahwa tidak ada halaman baru, bahkan kata baru. I didn’t even open the files.

Namun pagi ini kembali harus ke luar untuk beberapa urusan. Salah satunya belanja makanan buat di rumah. Iseng, saya mampir ke Pasar Cihapit—the traditional market that I grew up with as a child. Boy, it was such a fun experience. I was reminiscing my childhood by eating kue pukis, buying some veggies from the vendors who had known me since I was a kid. The familiar smiles, the friendly greetings… I realized how much I loved that place. It was one of my happy places, evoking lotsa happy thoughts. I wanna come here more often.

Selepas acara belanja, I didn’t go out again. Hari ini didedikasikan untuk merawat Keenan dan tidur. Pukul 9 malam saya sudah tidak sanggup lagi menahan kantuk. Gile, kapan coba Dewi Lestari si Ratu Begadang udah tidur jam 9? Haha. This is such a rarity all right.

2 comments:

  1. don't push yourself too hard.. enjoy the unproductive moment, it's an 'invisible' holiday for you actually, cause the moment will come to you when the time's right.. hehe..

    ReplyDelete
  2. temen saya selalu bilang:
    "kaleeuuuumm atuh euy...kaleeeuuum!"

    setiap dia ngeliat orang-orang yang sudah tidak santai lagi dalam menjalani hidup...

    mungkin kata-kata temen saya itu bisa jadi slogan baru buat mbe dee

    'kaleeuuuumm atuh euy...kaleeeuuum!'

    mudah-mudahan bisa ngebuat semuanya lebih santai dan menyenangkan ...

    semoga...
    (biar cepet beres recto-nya...dah gak sabar..hehehe)

    ps: seneng, mbe dee masih kenal...hehehe...

    ReplyDelete